Pada tanggal 23 Juli 2011, penulis mengisi acara Daurah pemantapan Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Pondok Pesantren Sunan Pandan Aran, Sleman Yogyakarta yang diasuh oleh KH. Mu’tashim Billah Mufid. Dalam acara tersebut, salah seorang peserta mengajukan pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian, di mana dalam selebaran Manhaj Salaf, media siluman kaum Wahabi, selamatan atau suguhan makanan kematian dianggap haram secara mutlak. Selebaran tersebut banyak melakukan pelintiran dan distorsi terhadap pernyataan para ulama madzhab Syafi’i dalam kitab-kitab fiqih mu’tabaroh. Ulama menyatakan makruh, selebaran tersebut merubahnya menjadi haram. Oleh karena itu, catatan ini akan mengupas secara ringkas tentang hukum suguhan kematian menurut para ulama.
Suguhan makanan yang dibuat oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah, diperselisihkan di kalangan ulama menjadi 3 pendapat.
Pertama, pendapat yang menyatakan makruh. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama madzhab empat, seperti dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam kitab I’anah al-Thalibin dengan mengutip fatwa gurunya, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan berikut ini:
مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ (2/145) وَفِيْ حَاشِيَةِ الْعَلاَّمَةِ الْجَمَلِ عَلَى شَرْحِ الْمَنْهَجِ وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ وَالْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجُمَعِ وَاْلأَرْبَعِيْنَ بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كَانَ مِنْ مَالِ مَحْجُوْرٍ أَوْ مِنْ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ ضَرَرٌ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ اهـ (2/146) وَلاَ شَكَّ أَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَإِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الشَّرِّ فَإِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إِلَى أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا (2/146).
“Apa yang dilakukan oleh manusia berupa berkumbul di rumah keluarga duka cita dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang munkar. Dalam Hasyiyah al-Jamal diterangkan, “Di antara bid’ah yang munkar adalah tradisi selamatan (kenduri) kematian yang disebut wahsyah, juma’, dan arba’in (nama-nama tradisi di Hijaz). Bahkan semua itu dihukumi haram apabila makanan tersebut diambil dari harta mahjur ‘alaih (orang yang belum dibolehkan mentasarufkan hartanya seperti anak yang belum dewasa), atau harta si mati yang memiliki hutang, atau dapat menimbulkan madarat pada si mati tersebut dan sesamanya.” Tidak diragukan lagi bahwa mencegah manusia dari bid’ah yang munkar ini, dapat menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka sekian banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup sekian banyak pintu-pintu kejelekan. Karena manusia yang melakukannya telah banyak memaksakan diri yang membawa pada hukum keharaman.” (Syaikh al-Bakri, I’anah al-Thalibin, juz 2 hal. 145-146).
Demikian fatwa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Syafi’i yang dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam I’anah al-Thalibin. Kesimpulan dari fatwa tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, selamatan pada hari kematian, sampai hari ketujuh dan hari empat puluh adalah makruh, apabila makanan yang disediakan berasal dari harta keluarga si mati.
Kedua, selamatan tersebut bisa menjadi haram, apabila makanan disediakan dari harta mahjur ‘alaih (orang yang tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim/belum dewasa), atau dari harta si mati yang mempunyai hutang, atau dapat menimbulkan madarat dan sesamanya. Demikian kesimpulan fatwa Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan yang bermadzhab Syafi’i. Fatwa yang sama juga dikemukakan oleh ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Meski demikian, apabila makanan yang disediakan kepada penta’ziyah tersebut berasal dari bantuan para tetangga, maka status hukum makruhnya menjadi hilang dan berubah menjadi tidak makruh. Hal ini seperti dikemukakan oleh Syaikh Abdul Karim Bayyarah al-Baghdadi, mufti madzhab Syafi’i di Iraq, dalam kitabnya Jawahir al-Fatawa. Dalam hal ini, ia berkata:
اِنِ اجْتَمَعَ الْمُعِزُّوْنَ الرُّشَدَاءُ وَأَعْطَى كُلٌّ مِنْهُمْ بِاخْتِيَارِهِ مِقْدَارًا مِنَ النُّقُوْدِ أَوْ جَمَعُوْا فِيْمَا بَيْنَهُمْ مَا يُكْتَفَى بِهِ لِذَلِكَ الْجَمْعِ مِنَ الْمَأْكُوْلاَتِ وَالْمَشْرُوْبَاتِ وَأَرْسَلُوْهُ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ أَوْ إِلَى أَحَدِ جِيْرَانِهِمْ وَتَنَاوَلُوْا ذَلِكَ بَعْدَ الْوُصُوْلِ اِلَى مَحَلِّ التَّعْزِيَةِ فَلاَ حَرَجَ فِيْهِ هَذَا وَاللهُ الْهَادِيْ إِلَى الْحَقِّ وَالصَّوَابِ.
“Apabila orang-orang yang berta’ziyah yang dewasa berkumpul, lalu masing-masing mereka menyerahkan sejumlah uang, atau mengumpulkan sesuatu yang mencukupi untuk konsumsi perkumpulan (selamatan kematian) berupa kebutuhan makanan dan minuman, dan mengirimkannya kepada keluarga si mati atau salah satu tetangganya, lalu mereka menjamahnya setelah sampai di tempat ta’ziyah itu, maka hal tersebut tidak mengandung hukum kesulitan (tidak apa-apa). Allah lah yang menunjukkan pada kebenaran.” (Jawahir al-Fatawa, juz 1, hal. 178).
Kedua, pendapat yang menyatakan boleh atau mubah. Pendapat ini diriwayatkan dari Khalifah Umar, Sayyidah Aisyah dan Imam Malik bin Anas. Riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai berikut:
عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. (المطالب العالية، 5/328).
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hari orang yang sedang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, berpandangan bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
Ketiga, pendapat yang mengatakan sunnat. Pendapat ini diriwayatkan dari kaum salaf sejak generasi sahabat yang menganjurkan bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa tradisi hidangan makanan dari keluarga duka cita untuk orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan sunnat. Di antara mereka tidak ada pendapat yang menyatakan haram. Bahkan untuk selamatan tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah. Wallahu a’lam.
Astaghfirullah begitu gigihnya membela berkat kenduri. Ikut Animis aja
BalasHapus