Entri Populer

Senin, 02 Januari 2012

HAKIKAT REBO WEKASAN


Setiap Rabu terakhir bulan Shafar, sebagian besar kaum Muslimin Nusantara melakukan shalat sunnah memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari berbagai malapetaka. Hal ini didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir yang berbunyi begini:

“Sebagian orang-orang yang ma’rifat kepada Allah menyebutkan, bahwa dalam setiap tahun akan turun tiga ratus dua puluh ribu malapetaka, semuanya terjadi pada Rabu terakhir bulan Shafar, sehingga hari tersebut menjadi hari tersulit dalam hari-hari tahun itu. Barangsiapa yang menunaikan shalat pada hari itu sebanyak 4 raka’at, dalam setiap raka’at membaca al-Fatihah 1 kali, Surat al-Kautsar 17 kali, surat al-Ikhlash 15 kali dan mu’awwidzatayn 1 kali, lalu berdoa dengan doa berikut ini, maka Allah akan menjaganya dari semua malapetaka yang turun pada hari tersebut.”

Hari Rabu yang disebutkan dalam keterangan di atas disebut dengan Rebo Wekasan. Persoalannya, sejauh manakah legitimasi agama, atau pengakuan agama Islam terhadap Rebo Wekasan seperti dalam keterangan Kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas? Menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu kita bahasa.

Pertama, pernyataan sebagian orang-orang yang ma’rifat tersebut, atau dalam kata lain sebagian waliyullah (kekasih Allah), dalam kacamata agama disebut dengan ilham. Para ulama ushul fiqih mendefinisikan ilham dengan, pikiran hati yang datang dari Allah. Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan utama kaum Wahabi berkata dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah:

ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات

“Di antara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali dan apa yang dijalankan oleh Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.”

Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas, mengharuskan kita mengakui adanya berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah yang diberikan oleh Allah kepada para wali. Dengan demikian, dalam perspektif agama, ilham maupun mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang berbagai macam malapetaka yang diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, menemukan legitimasinya dalam akidah Islam.

Kedua, mayoritas ulama berpendapat bahwa ilham tidak dapat menjadi dasar hukum Islam (wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram). Ilham yang dikemukakan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, tidak dalam rangka menghukumi sesuatu dalam perspektif Islam. Ilham di atas hanya informasi perkara ghaib tentang turunnya malapetaka pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Dengan demikian, ilham tersebut tidak berkaitan dengan hukum, tetapi berkaitan dengan informasi perkara ghaib yang biasa terjadi kepada para wali Allah, seperti dikemukakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah di atas.

Ketiga, dalam ilmu tashawuf, ilham maupun mukasyafah seorang wali tidak boleh dipercaya dan diamalkan, sebelum dikomparasikan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ilham dan mukasyafah tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka dipastikan benar. Akan tetapi apabila ilham dan mukasyafah tersebut bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka itu jelas salah dan harus ditinggalkan jauh-jauh. Kaitannya dengan ilham atau mukasyafah Rebo Wekasan yang diterangkan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, ada dasar yang menguatkannya. Rasulullah saw bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).

“Dari Ibn Abbas RA, Nabi SAW bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).

Hadits di atas kedudukannya dha’if (lemah). Tetapi meskipun hadits tersebut lemah, posisinya tidak dalam menjelaskan suatu hukum, tetapi berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (anjuran dan peringatan), yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak generasi salaf. Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, bukan ulama ahli hadits, akan tetapi kaum Wahabi abad modern yang dipelopori oleh Syaikh al-Albani.

Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa hari Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari datangnya sial terus.

Keempat, berkaitan dengan bulan Shafar, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya sebagai berikut ini:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.

“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:

أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).

“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Kelima, dalam hadits sebelumnya dinyatakan bahwa, Rabu terakhir setiap bulan adalah hari datangnya sial. Sementara dalam hadits berikutnya, membatalkan tradisi Jahiliyah yang merasa memperoleh ketidakberuntungan pada bulan Shafar. Dari sini, Rabu terakhir di bulan Shafar disebut dengan Rebo Wekasan. Hal ini agaknya melegitimasi ilham atau mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang turunnya berbagai malapetaka di bulan Shafar.

Keenam, terkait dengan amaliah shalat 4 rakaat di atas bagaimana posisi hukumnya? Secara fiqih, shalat tersebut tidak mungkin dikatakan sebagai Shalat Sunnat Rebo Wekasan, karena dalilnya tidak ada. Tetapi melakukan shalat tersebut, tentunya boleh-boleh saja, dengan harapan terhindari dari berbagai malapetaka. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif:

وَالْبَحْثُ عَنْ أَسْبَابِ الشَّرِّ مِنَ النَّظَرِ فِي النُّجُوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَالْبَاحِثُوْنَ عَنْ ذَلِكَ غَالِبًا لَا يَشْتَغِلُوْنَ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلَاءَ مِنَ الطَّاعَاتِ، بَلْ يَأْمُرُوْنَ بِلُزُوْمِ الْمَنْزِلِ وَتَرْكِ الْحَرَكَةِ، وَهَذَا لاَ يَمْنَعُ نُفُوْذَ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْتَغِلُ بِالْمَعَاصِيْ، وَهَذَا مِمَّا يُقَوِّيْ وُقُوْعَ الْبَلاَءِ وَنُفُوْذَهُ، وَالَّذِيْ جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ هُوَ تَرْكُ الْبَحْثِ عَنْ ذَلِكَ وَاْلإِعْرَاضُ عَنْهُ وَاْلإِشْتِغَالُ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلاَءَ مِنَ الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالصَّدَقَةِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلإِيْمَانِ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٣).

“Meneliti sebab-sebab keburukan seperti melihat perbintangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang. Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Di antara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran yang dibawa oleh syari’at adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak seperti berdoa, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada Allah SWT dan beriman kepada keputusan dan ketentuan Allah SWT.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143). Wallahu a’lam.

LOGIKA LIBERALISME YANG MATI AKAL


Kaum Liberal dikenal sebagai kaum anti hukum-hukum agama dan musuh semua hukum agama. Dalam pandangan agama Islam, hal-hal yang ditolak oleh kaum liberal banyak yang mengakibatkan hukum kafir dan murtad (keluar) dari Islam. Akan tetapi ketika liberal dikatakan, Anda telah kafir dan murtad (keluar) dari Islam akibat pendapat Anda. Maka si liberal itu akan menjawab: “kira kira mulai kapan Anda sebagai manusia mendapatkan mandat dari ALLAH untuk mengkafirkan SESAMA MUSLIM (katanya sesama muslim bersaudara) jika kita menyesatkan/mengkafirkan mereka , APAKAH DIJAMIN MASUK SURGA...?”

Tentu saja, ini logika liberal yang kekanak-kanakan. Di satu sisi, ia menolak sekian banyak ajaran agama yang definitif (qath’iyyat), seakan-akan ia seorang yang sangat pinter. Tetapi di sisi lain, ketika ia dikatakan murtad dan kafir ia justru bersikap kekanak-kanakan, dan berkomentar: “kira kira mulai kapan Anda sebagai manusia mendapatkan mandat dari ALLAH untuk mengkafirkan SESAMA MUSLIM (katanya sesama muslim bersaudara) jika kita menyesatkan/mengkafirkan mereka , APAKAH DIJAMIN MASUK SURGA...?”

Orang liberal seperti ini tidak faham dan pura-pura tidak faham, bahwa Allah SWT telah sempurna menurunkan al-Qur’an menjelang wafatnya Nabi saw. Kemudian Nabi saw menjelaskan maksud pesan-pesan al-Qur’an melalui Sunnah-nya. Selanjutnya yang diberi tugas dan mandat menjelaskan hukum-hukum al-Qur’an dan Sunnah itu para ulama yang mumpuni dalam setiap bidangnya.  Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang isinya memberi mandat kepada para ulama agar menjelaskan hukum-hukum Allah dan Rasul-nya, termasuk di dalamnya hukum haram, kafir dan murtadnya suatu perbuatan manusia. Misalnya Allah SWT berfirman:

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ (187)

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima. (QS. Alu-Imran : 187)

Dalam ayat di atas, al-Qur’an mengecam para ulama yang tidak mau menjelaskan pesan-pesan kitab Allah kepada umat manusia. Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43)

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.  (QS. an-Nahl : 43).

Dalam ayat di atas, Allah mewajibkan umat Islam agar bertanya kepada para ulama tentang hukum-hukum yang tidak mereka ketahui, tentunya termasuk hukum haram, kafir dan murtadnya suatu perbuatan.

Sudah barang tentu, setiap ada seseorang yang melakukan kekafiran, tidak mungkin Allah akan berkata secara langsung kepada orang tersebut, “Kamu telah kafir atau murtad.” Karena persoalan hukum-hukum Allah telah disampaikan melalui al-Qur’an dan melalui Sunnah Rasul-Nya.  Allah berfirman dalam al-Qur’an:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ (51)

Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Syura : 51).

Sabtu, 31 Desember 2011

HUKUM DOSEN LIBERAL MENODAI AGAMA


KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL
TENTANG
HUKUM PENISTAAN AGAMA ISLAM
 
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL
NAHDHATUL ULAMA KABUPATEN JEMBER
4 Shafar 1433 H/29 Desember 2011 M
Di Kantor PCNU Jember


Hukum Penistaan Agama Islam
Deskripsi Masalah:
Seorang dosen ketika mengajar di dalam kelas menulis lafal jalalah (lafal Allah) di papan tulis, lalu menghapusnya dengan sepatu yang dikenakannya.
Pertanyaan (1):
Bagaimana hukum perbuatan si dosen tersebut dalam pandangan syariat Islam?
Jawaban:
Apa yang dilakukan oleh si dosen tersebut merupakan penghinaan dan meremehkan terhadap simbol-simbol agama Allah I, yang dihukumi haram, dan menyebabkan kemurtadannya dari Islam, dan baginya berlaku semua hukum-hukum murtad.
Dasar Pengambilan
قَالَ اْلإِمَامُ ابْنُ حَجَرٍ الْهَيْتَمِيُّ (ت ٩٧٤ هـ) فِي اْلإِعْلاَمُ بِقَوَاطِعِ اْلإِسْلاَمِ ص/٣٤٩: وَمِنْهَا أَيْ مِنَ الْمُكَفِّرَاتِ إِلْقَاءُ الْمُصْحَفِ فِي الْقَاذُوْرَاتِ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ قَرِيْنَةٍ تَدُلُّ عَلَى عَدَمِ اْلاِسْتِهْزَاءِ وَإِنْ ضَعُفَتْ، وَالْمُرَادُ بِهَا النَّجَاسَاتُ مُطْلًقًا بَلْ وَالْقَذَرُ الطَّاهِرُ أَيْضًا كَمَا صَرَّحَ بِهِ بَعْضُهُمْ. قَالَ الرُّوْيَانِيُّ: وكَالْمُصْحَفِ فِيْ ذَلِكَ أَوْرَاقُ الْعُلُوْمِ الشَّرْعِيَّةِ وَيُؤَيِّدُهُ مَا يَأْتِيْ فِيْمَنْ قَالَ قَصْعَةُ ثَرِيْدٍ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ، وكُتُبُ الْحَدِيْثِ وَكُلُّ وَرَقَةٍ فِيْهَا اِسْمٌ مِنْ أَسْمَائِهِ تَعَالَى أَوْلَى بِذَلِكَ فِيْ كَوْنِ إِلْقَائِهِ فِي الْقَذَرِ مُكَفِّرًا. اهـ
Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) berkata dalam kitab al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam h. 349: “Di antara yang menyebabkan kekafiran adalah melemparkan mushhaf pada kotoran tanpa ada uzur dan tanpa ada indikasi yang menunjukkan pada tidak meremehkan meskipun indikasi tersebut lemah. Yang dimaksud dengan kotoran di sini adalah perkara najis secara mutlak, bahkan kotoran yang suci juga demikian sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama. Al-Ruyani berkata: “Sama halnya dengan mushhaf dalam hal tersebut adalah kertas-kertas ilmu syariat, dan hal ini diperkuat oleh keterangan berikut tentang seseorang yang berkata, satu mangkuk bubur lebih baik dari pada ilmu. Kitab-kitab hadits dan setiap kertas yang berisi salah satu Asma Allah, lebih utama dengan hukum tersebut dalam hal melemparkannya ke tempat yang kotor menyebabkan pada kekafiran.”
وفي الموسوعة الفقهية الكويتية ج ٣ ص٢٤٩ ما يلي : الاِسْتِخْفَافُ بِاَللهِ تَعَالَى : - قَدْ يَكُونُ بِالْقَوْل ، مِثْل الْكَلاَمِ الَّذِي يُقْصَدُ بِهِ الاِنْتِقَاصُ وَالاِسْتِخْفَافُ فِي مَفْهُومِ النَّاسِ عَلَى اخْتِلاَفِ اعْتِقَادَاتِهِمْ ، كَاللَّعْنِ وَالتَّقْبِيحِ ، سَوَاءٌ أَكَانَ هَذَا الاِسْتِخْفَافُ الْقَوْلِيُّ بِاسْمٍ مِنْ أَسْمَائِهِ أَمْ صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ تَعَالَى ، مُنْتَهِكًا لِحُرْمَتِهِ انْتِهَاكًا يَعْلَمُ هُوَ نَفْسُهُ أَنَّهُ مُنْتَهِكٌ مُسْتَخِفٌّ مُسْتَهْزِئٌ. مِثْل وَصْفِ اللهِ بِمَا لاَ يَلِيقُ  أَوْ الاِسْتِخْفَافِ بِأَمْرٍ مِنْ أَوَامِرِهِ ، أَوْ وَعْدٍ مِنْ وَعِيدِهِ ، أَوْ قَدْرِهِ. وَقَدْ يَكُونُ بِالأفْعَال ، وَذَلِكَ بِكُل عَمَلٍ يَتَضَمَّنُ الاِسْتِهَانَةَ ، أَوِ الاِنْتِقَاصَ ، أَوْ تَشْبِيهَ الذَّاتِ الْمُقَدَّسَةِ بِالْمَخْلُوقَاتِ ، مِثْل رَسْمِ صُورَةٍ لِلْحَقِّ سُبْحَانَهُ ، أَوْ تَصْوِيرِهِ فِي مُجَسَّمٍ كَتِمْثَالٍ وَغَيْرِهِ . وَقَدْ يَكُونُ بِالاِعْتِقَادِ ، مِثْل اعْتِقَادِ حَاجَةِ اللهِ تَعَالَى إِلَى الشَّرِيكِ. حُكْمُ الاِسْتِخْفَافِ بِاَللهِ تَعَالَى : - أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الاِسْتِخْفَافَ بِاللهِ تَعَالَى بِالْقَوْل ، أَوِ الْفِعْل ، أَوْ الاِعْتِقَادِ حَرَامٌ ، فَاعِلُهُ مُرْتَدٌّ عَنِ الإْسْلاَمِ تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْمُرْتَدِّينَ ، سَوَاءٌ أَكَانَ مَازِحًا أَمْ جَادًّا. قَال تَعَالَى : { وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُل أَبِاللهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ  (التوبة : ٦٥-٦٦)} .
“Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, terdapat keterangan berikut ini: “Meremehkan Allah I, ada kalanya dengan ucapan seperti pembicarakan yang dimaksudkan merendahkan dan meremehkan dalam pemahaman manusia dalam perbedaan keyakinan mereka seperti mengutuk dan menjelek-jelekkan, baik ucapan yang meremehkan itu terhadap salah satu Asma Allah I atau salah satu sifat-sifat-Nya, seraya merusak kemuliaan-Nya, sekiranya ia ketahui bahwa dirinya telah mencemarkan, meremehkan dan merendahkan, seperti menyifati Allah dengan sesuatu yang tidak layak, atau meremehkan sebagian perintah-Nya, ancaman-Nya atau keagungan-Nya.
Terkadang meremehkan Allah itu dengan perbuatan, hal ini terjadi dengan setiap perbuatan yang mengandung penghinaan, merendahkan, atau menyerupakan Dzat Tuhan Yang Maha Suci dengan makhluk-Nya seperti melukis gambar Tuhan, atau menggambarkan Tuhan dalam benda materi seperti berhala dan sesamanya. Dan terkadang meremehkan Tuhan dengan keyakinan, seperti meyakini bahwa Tuhan membutuhkan sekutu. Hukum meremehkan Allah. Para ulama fuqaha telah sepakat bahwa meremehkan Allah I dengan ucapan, atau perbuatan dan atau keyakinan adalah haram, pelakunya murtad (keluar) dari Islam, hukum-hukum orang murtad berlaku baginya, baik ia melakukannya dengan tujuan bergurau atau serius. Allah I berfirman: “Dan bila engkau (Wahai Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka mereka sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya bermain-main (bercanda)”, katakan; “Adakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari alasan, sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS. At-Taubah; 65-66).
وَقَالَ الْحَبِيْبُ عَبْدُ اللهِ بْنُ حُسَيْنٍ بْنِ طَاهِرٍ بَاعَلْوِي الْحَضْرَمِيُّ ١۲٧۲ هـ) فِي كِتَابِهِ سُلَّمِ التَّوْفِيْقِ: وَحَاصِلُ أَكْثَرِ تِلْكَ الْعِبَارَاتِ يَرْجِعُ إِلَى أَنَّ كُلَّ عَقْدٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ قَوْلٍ يَدُلُّ عَلَى اسْتِهَانَةٍ أَوِ اسْتِخْفَافٍ بِاللهِ تَعَالَى أَوْ كُتُبِهِ أَوْ أَنْبِيَائِهِ أَوْ مَلاَئِكَتِهِ أَوْ شَعَائِرِهِ أَوْ مَعَالِمِ دِيْنِهِ أَوْ أَحْكَامِهِ أَوْ وَعْدِهِ أَوْ وَعِيْدِهِ كُفْرٌ أَوْ مَعْصِيَةٌ فَلْيَحْذَرِ اْلإِنْسَانُ مِنْ ذَلِكَ جُهْدَهُ.
Habib Abdullah bin Husain bin Thahir Ba-Alwi al-Hadhrami  (w. 1272 H) berkata dalam kitabnya Sullam al-Taufiq: Kesimpulan semua ungkapan-ungkapan tersebut kembali pada, bahwa setiap keyakinan, atau perbuatan dan atau ucapan yang menunjukkan pada penghinaan atau meremehkan kepada Allah I, atau kitab-kitab-Nya, atau para nabi-Nya, atau para malaikat-Nya, atau simbol-simbol agama-Nya, atau hukum-hukum-Nya, atau janji-Nya, dan atau ancaman-Nya adalah kufur atau maksiat. Oleh karena itu, hendaknya seseorang berhati-hati akan hal tersebut dengan segenap kemampuannya.
Pertanyaan (2):
Dosen tersebut juga berpandangan bahwa menginjak mushhaf al-Qur’an boleh-boleh saja, hanya tidak etis. Bagaimana sebenarnya hukum menginjak al-Qur’an?
Jawaban :
Hukum menginjak mushhaf al-Qur’an jelas haram dan pelakunya menjadi murtad (keluar) dari Islam.
Dasar Pengambilan:
قَالَ اْلإِمَامُ الْقَاضِيْ عِيَاضُ (ت ٥٤٤ ه) فِي كِتَابِهِ الشِّفَا بِتَعْرِيْفِ حُقُوْقِ الْمُصْطَفَى ٢/٣٠٤: وَاعْلَمْ أَنَّ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلقُرْآنِ أَوِ الْمُصْحَفِ أَوْ بِشَيْءٍ مِنْهُ أَوْ سَبَّهُمَا أَوْ جَحَدَهُ أَوْ حَرْفًا مِنْهُ أَوْ آَيَةً أَوْ كَذَّبَ بِهِ أَوْ بِشَيْءٍ مِنْهُ أَوْ كَذَّبَ بِشَيْءٍ مِمَّا صَرَّحَ بِهِ فِيْهِ مِنْ حُكْمٍ أَوْ خَبَرٍ أَوْ أَثْبَتَ مَا نَفَاهُ أَوْ نَفَى مَا أَثْبَتَهُ عَلىَ عِلْمٍ مِنْهُ بِذَلِكَ أَوْ شَكَّ فِيْ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ كَافِرٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِإِجْمَاعٍ اهـ
Al-Imam al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) berkata dalam kitabnya al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa juz 2 hal. 304: “Ketahuilah bahwa orang yang meremehkan al-Qur’an, atau mushhaf, atau sesuatu darinya, atau memakinya, atau mengingkarinya, atau mengingkari satu huruf atau satu ayat darinya, atau mendustakannya, atau sebagiannya, atau mendustakan sesuatu yang dijelaskan oleh al-Qur’an berupa hukum, atau berita, atau menetapkan sesuatu yang dinafikan oleh al-Qur’an, atau menafikan sesuatu yang ditetapkannya dengan sengaja atau meragukan sesuatu darinya, maka dia adalah kafir menurut ahli ilmu secara ijma’.”
وَفِي الْمَوْسُوْعَةِ الْفِقْهِيَّةِ الْكُوَيْتِيَّةِ (٣٨/٢١) مَا يَلِيْ: إِذَا أَهَانَ الْمُسْلِمُ مُصْحَفًا مُتَعَمِّدًا مُخْتَارًا يَكُونُ مُرْتَدًّا وَيُقَامُ عَلَيْهِ حَدُّ الرِّدَّةِ .وَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى ذَلِكَ ، فَمِنْ صُوَرِ ذَلِكَ مَا قَال الْحَنَفِيَّةُ : لَوْ وَطِئَ بِرِجْلِهِ الْمُصْحَفَ اسْتِخْفَافًا وَإِهَانَةً يَكُونُ كَافِرًا ، وَكَذَا مَنْ أَمَرَ بِوَطْئِهِ يَكُونُ كَافِرًا
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (38/21) terdapat keterangan sebagai berikut: “Apabila seorang Muslim menghina mushhaf al-Qur’an dengan sengaja dan kemauannya, maka ia murtad dan had murtad harus diberlakukan kepadanya. Para ulama fuqaha telah mengeyepakati hal tersebut. Di antara contoh penghinaan Mushhaf adalah apa yang dikatakan oleh ulama Hanafiyah: “Apabila seseorang menginjak mushhaf dengan kakinya karena meremehkan dan menghina, maka ia menjadi kafir. Demikian pula orang yang menyuruhnya menginjak mushhaf juga menjadi kafir.
Pertanyaan (3):
Mengapa mushhaf al-Qur’an itu wajib dimuliakan, padahal itu hanya simbol dari firman Allah?
Jawaban:
Mushhaf al-Qur’an itu wajib dimuliakan karena menjadi simbol dari firman Allah yang mulia.
Dasar Pengambilan:
قَالَ اْلإِمَامُ حُجَّةُ اْلإِسْلاَمِ الْغَزَالِيُّ (ت ٥٠٥ ه) فِي اْلاِقْتِصَاد فِي اْلاِعْتِقَادِ ص ١٩٠: كَلاَمُ اللهِ تَعَالَى مَكْتُوْبٌ فِي الْمَصَاحِفِ مَحْفُوْظٌ فِي الْقُلُوْب مَقْرُوْءٌ بِاْلأَلْسِنَةِ، وَأَمَّا الْكاَغِدُ وَالْحِبْرُ وَالْكِتَابَةُ وَالْحُرُوْفُ وَالْأَصْوَاتُ كُلُّهَا حَادِثَةٌ لأَنَّهَا أَجْسَامٌ وَأَعْرَاضٌ فِيْ أَجْسَامٍ فَكُلُّ ذَلِكَ حَادِثٌ. ... فَكَذَلِكَ الْكَلاَمُ الْقَدِيْمُ الْقَائِمُ بِذَاتِ اللهِ تَعَالَى هُوَ الْمَدْلُوْلُ لاَ ذَاتُ الدَّلِيْلِ وَالْحُرُوْفُ أَدِلَّةٌ وَلِلْأَدِلَّةِ حُرْمَةٌ إِذْ جَعَلَ الشَّرْعُ لَهَا حُرْمَةً فَلِذَلِكَ وَجَبَ احْتِرَامُ الْمُصْحَفِ لِأَنَّ فِيْهِ دَلاَلَةً عَلىَ صِفَةِ اللهِ تَعَالَى.
Al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali (w. 505 H) berkata dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad hal. 190: Firman Allah itu ditulis di dalam mushhaf, dihafal dalam hati dan dibaca dengan lisan. Adapun kertas, tinta, tulisan, huruf dan suara, semuanya adalah baru, karena merupakan benda dan sifat benda. Jadi semuanya baru. Firman Allah yang qadim (tidak berpermulaan) yang menetap pada Dzat Allah, adalah yang ditunjukkan oleh firman itu, bukan petunjuk itu sendiri. Sedangkan huruf-huruf itu merupakan simbol/rambu-rambu/petunjuk. Simbol itu memiliki kemuliaan karena agama memuliakannya, oleh karena itu memuliakan mushhaf hukumnya wajib, karena di dalamnya ada petunjuk atas sifat Allah.
Pertanyaan (4):
Adakah dalil yang menyatakan bahwa meremehkan dan menghina mushhaf al-Qur’an itu murtad?
Jawaban:
Dalil yang menyatakan bahwa meremehkan dan menghina mushhaf al-Qur’an itu murtad terdapat di dalam al-Qur’an.
Dasar Pengambilan:
قَال تَعَالَى : { وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُل أَبِاللهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ  (التوبة : ٦٥-٦٦)} .
Allah I berfirman: “Dan bila engkau (Wahai Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka mereka sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya bermain-main (bercanda)”, katakan (wahai Muhammad); “Adakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari alasan, sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS. At-Taubah; 65-66).
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Fakhruddin ar-Razi berkata:
قَالَ اْلإِمَامُ فَخْرُ الدِّيْنِ الرَّازِيُّ (ت ٦٠٤ ه) فِيْ تَفْسِيْرِهِ ١٦/١٢٦: اَلْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ : أَنَّهُ تَعَالَى حَكَى عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يَسْتَهْزِئُوْنَ بِاللهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ اْلاِسْتِهْزَاءَ بِاللهِ مُحَالٌ. فَلاَ بُدَّ لَهُ مِنْ تَأْوِيْلٍ وَفِيْهِ وُجُوْهٌ : اَلْأَوَّلُ : اَلْمُرَادُ بِالْاِسْتِهْزَاءِ بِاللهِ هُوَ اْلاِسْتِهْزَاءُ بِتَكَالِيْفِ اللهِ تَعَالَى. الثَّانِيْ : يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ الْمُرَادُ الْاِسْتِهْزَاءَ بَذِكْرِ اللهِ ، فَإِنَّ أَسْمَاءَ اللهِ قَدْ يَسْتَهْزِئُ الْكَافِرُ بِهَا كَمَا أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُعَظِّمُهَا وَيُمَجِّدُهَا. قَالَ تَعَالَى : {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الاعْلَى} (الأعلى : 1) فَأَمَرَ الْمُؤْمِنَ بِتَعْظِيْمِ اسْمِ اللهِ. ... وَأَمَّا قَوْلُهُ : {وَءَايَـاتِه } فَالْمُرَادُ بِهَا الْقُرْآَنُ ، وَسَائِرُ مَا يَدُلُّ عَلَى الدِّيْنِ. ... قَوْلُهُ : {قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَـانِكُمْ } يَدُلُّ عَلَى أَحْكَامٍ. الْحُكْمُ الْأَوَّلُ أَنَّ اْلاِسْتِهْزَاءَ بِالدِّيْنِ كَيْفَ كَانَ كُفْرٌ بْاللهِ. وَذَلِكَ لِأَنَّ الْاِسْتِهْزَاءَ يَدُلُّ عَلَى الْاِسْتِخْفَافِ وَالْعُمْدَةُ الْكُبْرَى فِي الْإِيْمَانِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى بِأَقْصَى اْلإِمْكَانِ وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا مُحَالٌ.
Al-Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 604 H) berkata dalam tafsirnya juz 16 hal. 126: Masalah kedua. Allah I menceritakan bahwa kaum munafiq itu mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya. Telah dimaklumi bahwa mengolok-olok Allah itu mustahil. Maka hal ini harus dilakukan ta’wil. Dalam hal ini ada beberapa jalan. Pertama, yang dimaksud mengolok-olok Allah adalah aturan-aturan Allah I. Kedua, boleh jadi maksudnya mengolok-olok dzikir kepada Allah. Terkadang nama-nama Allah itu diolok-olok oleh orang kafir. Sebagaimana seorang mukmin mengagungkan dan memuliakannya. Allah I berfirman: Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. (QS. al-A’la : 1). Allah I memerintah-kan mukmin mengagungkan nama Allah I ... Sedangkan firman Allah “dan ayat-ayat-Nya”, maksudnya adalah al-Qur’an dan semua hal yang menunjukkan pada agama... Firman Allah sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”, menunjukkan kepada beberapa hukum. Hukum pertama, bahwa mengolok-olok agama dengan cara bagaimanapun adalah kekafiran kepada Allah. Demikian ini, karena mengolok-olok itu menunjukkan pada sikap meremehkan. Sedangkan sandaran terbesar dalam keimanan adalah mengagungkan Allah dengan kemampuan terbesar. Menggabungkan antara keduanya jelas mustahil.
Pertanyaan (5):
Apabila orang yang menghina agama atau simbol-simbol agama tidak bermaksud keluar dari Islam, apakah tetap dihukumi murtad dan keluar dari Islam?
Jawaban:
Orang yang menghina agama atau simbol-simbol agama, dihukumi keluar dari Islam dan murtad, meskipun tidak bermaksud keluar dari Islam.
Dasar Pengambilan
اَلرِّدَّةُ وَهِيَ قَطْعُ الْإِسْلاَم،ِ وَتَنْقَسِمُ إِلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: أَفْعَالٌ وَأَقْوَالٌ وَاعْتِقَادَاتٌ كَمَا اتَّفقَ عَلَى ذَلِكَ أَهْلُ الْمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَغَيْرُهُمْ، كَالنَّوَوِيِّ (ت ٦٧٦ هـ) وَغَيْرِهِ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ، وَابْنِ عَابِدِيْنَ ( ت ١۲٥۲ هـ ) وَغَيْرِهِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ، وَمُحَمَّدٍ عِلَّيْشٍ ( ت ١۲٩٩ هـ ) وَغَيْرِهِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ، وَالْبُهُوْتِيِّ ( ت ١٠٥١ هـ) وَغَيْرِهِ مِنَ الْحَنَابِلَةِ.
Riddah adalah memutuskan Islam. Riddah terbagi kepada tiga macam; riddah (keluar dari Islam) karena perbuatan, karena perkataan dan karena keyakinan. Pembagian ini telah disepakati oleh para ulama dari empat madzhab dan lainnya; seperti, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dan lainnya dari ulama madzhab Syafi’i, al-Imam Ibn Abidin (w 1252 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanafi, Syekh Muhammad Illaisy (w 1299 H) dan lainnya dari ulama madzhab Maliki, dan al-Imam al-Buhuti (w 1051 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanbali.
وَكُلٌّ مِنَ الثَّلاَثَةِ كُفْرٌ بِمُفْرَدِهِ فَالْكُفْرُ الْقَوْلِيُّ كُفْرٌ وَلَوْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ اعْتِقَادٌ أَوْ فِعْلٌ، وَالْكُفْرُ الفِعْلِيُّ كُفْرٌ وَلَوْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ قَوْلٌ أَوِ اعْتِقَادٌ أَوِ انْشِرَاحُ الصَّدْرِ بِهِ، وَالْكُفْرُ الْاِعْتِقَادِيُّ كُفْرٌ وَلَوْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ قَوْلٌ أَوْ فِعْلٌ، وَسَوَاءٌ حُصُوْلُ هَذَا مِنْ جَاهِلٍ بِالْحُكْمِ أَوْ هَازِلٍ أَوْ غَضْبَان.
Setiap satu dari tiga macam kufur di atas dengan sendirinya merupakan kekufuran (keluar dari Islam). Kufur Qawli misalkan, (kufur karena ucapan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkan seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur I’tiqadi dan atau kufur Fi’li. Demikian pula kufur Fi’li (kufur karena perbuatan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkna seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur Qawli, atau kufur I’tiqadi, dan juga walaupun tidak dibarengi dengan tujuan dalam hati untuk keluar dari Islam itu sendiri. Dan demikian pula dengan kufur I’tiqadi dengan sendirinya ia merupakan kekufuran walaupun tidak dibarengi dengan kufur Qawli dan atau kufur Fi’li. Dengan demikian setiap satu dari tiga macam kufur ini bila terjadi masing-masing maka dengan sendirinya mengeluarkan seseorang dari Islam, sama halnya bila itu terjadi dari seorang yang tidak mengetahui hukumnya, atau orang yang dalam keadaan bercanda, dan atau orang yang dalam keadaan marah.
وقَالَ رَسُوْلُ اللهِ r:” إنَّ الرَّجلَ لَيَتَكلَّمُ بالكلمةِ لا يَرى بها بأسًا يهوِي بِها سبعينَ خَرِيْفًا في النَّارِ ” رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَفِيْ مَعْنَاهُ حَدِيْثٌ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya –yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. (HR. at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih masing-masing).
وَقَالَ اْلإِمَامُ الْمُجْتَهِدُ مُحَمَّدُ بْنِ جَرِيْرٍ الطَّبَرِيُّ ( ت ٣١٠ هـ ) فِيْ كِتَابِهِ " تَهْذِيْبُ الْآَثاَرِ": إِنَّ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مَنْ يَخْرُجُ مِنَ اْلإِسْلَامِ مِنْ غَيْر أَنْ يَقْصدَ الْخُرُوْجَ مِنْهُ اهـ.
Salah seorang Imam Mujtahid terkemuka; yaitu Imam Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) dalam kitab karyanya berjudul Tahdzib al-Atsar, berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya”.
وَقَالَ الْحَافِظُ الْكَبِيْرُ أَبُوْ عوَانَةَ (ت ٣١٦ هـ) الَّذِيْ عَمِلَ مُسْتَخْرَجًا عَلىَ مُسْلِمٍ، فِيْمَا نَقَلَهُ عَنْهُ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ فَتْحِ الْبَارِيْ ج١۲/٣٠١-٣٠۲:” وَفِيْهِ أَنَّ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مَنْ يَخْرُجُ مِنَ الدِّيْنِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقْصِدَ الْخُرُوْجَ مِنْهُ وَمِنْ غَيْرِ أَنْ يَخْتَارَ دِيْنًا عَلىَ دِيْنِ اْلإِسْلاَمِ” اهـ.
Ahli hadits terkemuka yang telah membuat kitab al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim, yaitu al-Hafizh Abu Uwanah (w 316 H), berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya, dan atau walaupun ia tidak bertujuan memiliki agama lain selain agama Islam”. (Dikutip oleh al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari, j. 12, h. 301-302).
Kewajiban Setiap Muslim
وَقَالَ الشَّيْخُ عَبْدُ اللهِ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ طَاهِرٍ الْحَضْرَمِيُّ (ت ١۲٧۲ هـ) فِيْ كِتَابِهِ سُلَّمُ التَّوْفِيْقِ إِلَى مَحَبَّةِ اللهِ عَلىَ التَّحْقِيْقِ:” يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ حِفْظُ إِسْلاَمِهِ وَصَوْنُهُ عَمَّا يُفْسِدُهُ وَيُبْطِلُهُ وَيَقْطَعُهُ وَهُوَ الرِّدَّةُ وَالْعِيَاذُ بِاللهِ تَعَالَى وَقَدْ كَثُرَ فِي هَذَا الزَّمَانِ التَّسَاهُلُ فِي الْكَلاَمِ حَتَّى إِنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ بَعْضِهِمْ أَلْفَاظٌ تُخْرِجُهُمْ عَنِ اْلإِسْلاَمِ وَلاَ يَرَوْنَ ذَلِكَ ذَنْبًا فَضْلاً عَنْ كَوْنِهِ كُفْرًا”اهـ
Syekh Abdullah ibn al-Husain ibn Thahir al-Hadlrami (w 1272 H) dalam kitab Sullam at-Taufiq Ila Mahabbah Allah ‘Ala at-Tahqiq, berkata: “Wajib atas setiap orang muslim menjaga Islamnya, dan memeliharanya dari segala perkara yang dapat merusaknya, membatalkannya, dan memutuskannya; yaitu riddah –semoga kita dilindungi oleh Allah darinya–. Dan sungguh di zaman sekarang ini telah banyak orang yang menganggap remeh dalam berkata-kata hingga telah keluar dari sebagian mereka kata-kata yang telah mengeluarkan mereka dari Islam. Ironisnya, mereka tidak menganggap hal itu sebagai dosa, terlebih menganggapnya sebagai kekufuran”.
قَالَ الشَّيْخُ عَبْدُ اللهِ الْهَرَرِيُّ (ت ١٤۲٩ هـ) ص/١٤: ” وَذَلِكَ مِصْدَاقُ قَوْلِهِ r :” إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِيْ بِهَا فِي النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا” أَيْ مَسَافَةَ سَبْعِيْنَ عَامًّا فِي النُّـزُوْلِ وَذَلِكَ مُنْتَهَى جَهَنَّمَ وَهُوَ خَاصٌّ بِالْكُفَّارِ. وَالْحَدِيْثُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَه. وَفِيْ مَعْنَاهُ حَدِيْثٌ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ، وَهَذَا الْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ عَلىَ أَنَّهُ لاَ يُشْتَرَطُ فِي الْوُقُوْعِ فِي الْكُفْرِ مَعْرِفَةُ الْحُكْمِ وَلاَ انْشِرَاحُ الصَّدْرِ وَلاَ اعْتِقَادُ مَعْنَى اللَّفْظِ.”اهـ
Syaikh Abdullah ibn Muhammad al-Harari (w 1429 H), dalam kitab Mukhtashar Sullam at-Taufiq, h. 14, berkata: “–bahwa menganggap remeh kata-kata kufur dapat mengeluarkan seseorang dari Islamnya– hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya –yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. Artinya, ia akan masuk ke dalam neraka hingga ke dasarnya yang jarak hingga dasarnya tersebut adalah 70 tahun, dan dasar neraka adalah khusus sebagai tempat bagi orang-orang kafir. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadits ini merupakan dalil bahwa terjatuh dalam kufur tidak disyaratkan harus mengetahui hukumnya, juga tidak disyaratkan bahwa hatinya benar-benar bertujuan keluar dari Islam, serta juga tidak disyaratkan bahwa ia harus meyakini bahwa kata-kata tersebut dapat mengeluarkan dirinya dari Islam”. (Artinya, secara mutlak dengan hanya berkata-kata kufur; seseorang menjadi kafir/keluar dari Islam).
وَقَالَ السَّيِّدُ الْبَكْرِيُّ الدِّمْيَاطِيُّ (ت ١٣١٠هـ) فِيْ إِعَانَةِ الطَّالِبِيْنَ عَلَى حَلِّ أَلْفَاظِ فَتْحِ الْمُعِيْنِ ( م٢٤/١٣٣): “وَاعْلَمْ أَنَّهُ يَجْرِيْ عَلَى أَلْسِنَةِ الْعَامَّةِ جُمْلَةٌ مِنْ أَنْوَاعِ الْكُفْرِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَعْلَمُوْا أَنَّهَا كَذَلِكَ فَيَجِبُ عَلَى أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يُبَيِّنُوْا لَهُمْ ذَلِكَ لَعَلَّهُمْ يَجْتَنِبُوْنَهُ إِذَا عَلِمُوْهُ لِئَلاَّ تُحْبَطَ أَعْمَالُهُمْ وَيُخَلَّدُوْنَ فِيْ أَعْظَمِ الْعَذَابِ، وَأَشَدِّ الْعِقَابِ، وَمَعْرِفَةُ ذَلِكَ أَمْرٌ مُهِمٌّ جِدًّا، وَذَلِكَ لِأَنَّ مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الشَّرَّ يَقَعُ فِيْهِ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ، وَكُلُّ شَرٍّ سَبَبُهُ الْجَهْلُ، وَكُلُّ خَيْرٍ سَبَبُهُ الْعِلْمُ، فَهُوَ النُّوْرُ الْمُبِيْنُ، وَالْجَهْلُ بِئْسَ الْقَرِيْنُ”اهـ
As-Sayyid al-Bakri ad-Dimyathi (w 1310 H) dalam kitab I’anah al-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in, vol. 2, j. 4, h. 133, berkata: “Ketahuilah bahwa banyak orang-orang awam yang dengan lidahnya telah berkata-kata kufur tanpa mereka ketahui bahwa sebenarnya hal itu merupakan kekufuran (dan menjatuhkan mereka di dalamnya). Maka wajib atas seorang yang memiliki ilmu untuk menjelaskan bagi mereka perkara-perkara kufur tersebut supaya bila mereka mengetahinya maka mereka akan menghindarinya, dan dengan demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia, serta mereka tidak dikekalkan di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam siksaan besar dan adzab yang sangat pedih. Sesungguhnya mengenal masalah-masalah kufur itu adalah perkara yang sangat penting, karena seorang yang tidak mengetahui keburukan maka sadar atau tidak ia pasti akan terjatuh di dalamnya. Dan sungguh setiap keburukan itu pangkalnya (sebab utamnya) adalah kebodohan (tidak memiliki ilmu), dan setiap kebaikan itu pangkalnya adalah ilmu, maka ilmu adalah petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan adalah seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”.
Kewajiban Orang Yang Murtad
قَالَ الْحَبِيْبُ عَبْدُ اللهِ بْنُ حُسَيْنٍ بن ِطْاَهِرٍ بَاعَلْوِي الْحَضْرَمِيُّ ١۲٧۲ هـ) فِيْ كِتَابِهِ سُلَّمِ التَّوْفِيْقِ: فَصْلٌ يَجِبُ عَلَى مَنْ وَقَعَتْ مِنْهُ رِدَّةٌ الْعَوْدُ فَوْرًا إِلَى اْلإِسْلاَمِ بِالنُّطْقِ بِالشَّهَادَتَيْنِ وَاْلإِقْلَاعُ عَمَّا وَقَعَتْ بِهِ الرِّدَّةُ، وَيَجِبُ عَلَيْهِ النَّدَمُ عَلىَ مَا صَدَرَ مِنْهُ وَالْعَزْمُ عَلىَ أَنْ لاَ يَعُوْدَ لِمِثْلِهِ وَقَضَاءُ مَا فَاتَهُ مِنْ وَاجِبَاتِ الشَّرْعِ فِيْ تِلْكَ الْمُدَّةِ فَإِنْ لَمْ يَتُبْ وَجَبَتْ اِسْتِتَابَتُهُ وَلاَ يُقْبَلُ مِنْهُ إِلاَّ اْلإِسْلَامُ أَوِ الْقَتْلُ، وَبَطَلَ بِهَا نِكَاحُهُ قَبْلَ الدُّخُوْلِ وَكَذَا بَعْدَهُ إِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فِي الْعِدَّةِ، وَلَا يَصِحُّ عَقْدُ نِكَاحِهِ وَتَحْرُمُ ذَبِيْحَتُهُ وَلَا يَرِثُ وَلَا يُوْرَثُ وَلَا يُصَلىَّ عَلَيْهِ وَلَا يُغْسَلُ وَلَا يُكْفَنُ وَمَالُه فَيْءٌ اهـ
Al-Habib Abdullah bin Husan bin Thahir ba-Alwi al-Hadhrami berkata dalam kitabnya Sullam al-Taufiq: “Pasal. Wajib bagi orang yang terjerumus dalam kemurtadan, segera kembali kepada Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, dan mencabut perbuatan yang menyebabkan kemurtadannya. Ia juga wajib menyesali apa yang telah diperbuatnya dan bermaksud tidak akan mengulanginya lagi, dan mengganti kewajiban-kewajiban syara’ yang ditinggalkannya pada masa murtad tersebut. Apabila ia tidak bertaubat, maka wajib diperintahkan bertaubat. Tidak diterima darinya kecuali Islam atau dibunuh. Kemurtadan juga membatalkan nikahnya sebelum berhubungan suami isteri, demikian pula sesudahnya, apabila ia tidak kembali kepada Islam dalam masa iddah. Tidak sah pula akad nikahnya. Haram pula hewan yang disembelihnya. Ia tidak berhak menerima warisan, dan hartanya tidak dapat diwariskan. Ia tidak boleh dishalati, dimandikan dan dikafani. Hartanya menjadi harta fay’ (milik umat Islam).”
والحمد لله رب العالمين، وصلى الله على سيدنا محمد النبي الأمي وعلى آله وصحبه وبارك وسلم تسليما كثيرا.