Entri Populer

Sabtu, 31 Desember 2011

HUKUM DOSEN LIBERAL MENODAI AGAMA


KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL
TENTANG
HUKUM PENISTAAN AGAMA ISLAM
 
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL
NAHDHATUL ULAMA KABUPATEN JEMBER
4 Shafar 1433 H/29 Desember 2011 M
Di Kantor PCNU Jember


Hukum Penistaan Agama Islam
Deskripsi Masalah:
Seorang dosen ketika mengajar di dalam kelas menulis lafal jalalah (lafal Allah) di papan tulis, lalu menghapusnya dengan sepatu yang dikenakannya.
Pertanyaan (1):
Bagaimana hukum perbuatan si dosen tersebut dalam pandangan syariat Islam?
Jawaban:
Apa yang dilakukan oleh si dosen tersebut merupakan penghinaan dan meremehkan terhadap simbol-simbol agama Allah I, yang dihukumi haram, dan menyebabkan kemurtadannya dari Islam, dan baginya berlaku semua hukum-hukum murtad.
Dasar Pengambilan
قَالَ اْلإِمَامُ ابْنُ حَجَرٍ الْهَيْتَمِيُّ (ت ٩٧٤ هـ) فِي اْلإِعْلاَمُ بِقَوَاطِعِ اْلإِسْلاَمِ ص/٣٤٩: وَمِنْهَا أَيْ مِنَ الْمُكَفِّرَاتِ إِلْقَاءُ الْمُصْحَفِ فِي الْقَاذُوْرَاتِ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ قَرِيْنَةٍ تَدُلُّ عَلَى عَدَمِ اْلاِسْتِهْزَاءِ وَإِنْ ضَعُفَتْ، وَالْمُرَادُ بِهَا النَّجَاسَاتُ مُطْلًقًا بَلْ وَالْقَذَرُ الطَّاهِرُ أَيْضًا كَمَا صَرَّحَ بِهِ بَعْضُهُمْ. قَالَ الرُّوْيَانِيُّ: وكَالْمُصْحَفِ فِيْ ذَلِكَ أَوْرَاقُ الْعُلُوْمِ الشَّرْعِيَّةِ وَيُؤَيِّدُهُ مَا يَأْتِيْ فِيْمَنْ قَالَ قَصْعَةُ ثَرِيْدٍ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ، وكُتُبُ الْحَدِيْثِ وَكُلُّ وَرَقَةٍ فِيْهَا اِسْمٌ مِنْ أَسْمَائِهِ تَعَالَى أَوْلَى بِذَلِكَ فِيْ كَوْنِ إِلْقَائِهِ فِي الْقَذَرِ مُكَفِّرًا. اهـ
Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) berkata dalam kitab al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam h. 349: “Di antara yang menyebabkan kekafiran adalah melemparkan mushhaf pada kotoran tanpa ada uzur dan tanpa ada indikasi yang menunjukkan pada tidak meremehkan meskipun indikasi tersebut lemah. Yang dimaksud dengan kotoran di sini adalah perkara najis secara mutlak, bahkan kotoran yang suci juga demikian sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama. Al-Ruyani berkata: “Sama halnya dengan mushhaf dalam hal tersebut adalah kertas-kertas ilmu syariat, dan hal ini diperkuat oleh keterangan berikut tentang seseorang yang berkata, satu mangkuk bubur lebih baik dari pada ilmu. Kitab-kitab hadits dan setiap kertas yang berisi salah satu Asma Allah, lebih utama dengan hukum tersebut dalam hal melemparkannya ke tempat yang kotor menyebabkan pada kekafiran.”
وفي الموسوعة الفقهية الكويتية ج ٣ ص٢٤٩ ما يلي : الاِسْتِخْفَافُ بِاَللهِ تَعَالَى : - قَدْ يَكُونُ بِالْقَوْل ، مِثْل الْكَلاَمِ الَّذِي يُقْصَدُ بِهِ الاِنْتِقَاصُ وَالاِسْتِخْفَافُ فِي مَفْهُومِ النَّاسِ عَلَى اخْتِلاَفِ اعْتِقَادَاتِهِمْ ، كَاللَّعْنِ وَالتَّقْبِيحِ ، سَوَاءٌ أَكَانَ هَذَا الاِسْتِخْفَافُ الْقَوْلِيُّ بِاسْمٍ مِنْ أَسْمَائِهِ أَمْ صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ تَعَالَى ، مُنْتَهِكًا لِحُرْمَتِهِ انْتِهَاكًا يَعْلَمُ هُوَ نَفْسُهُ أَنَّهُ مُنْتَهِكٌ مُسْتَخِفٌّ مُسْتَهْزِئٌ. مِثْل وَصْفِ اللهِ بِمَا لاَ يَلِيقُ  أَوْ الاِسْتِخْفَافِ بِأَمْرٍ مِنْ أَوَامِرِهِ ، أَوْ وَعْدٍ مِنْ وَعِيدِهِ ، أَوْ قَدْرِهِ. وَقَدْ يَكُونُ بِالأفْعَال ، وَذَلِكَ بِكُل عَمَلٍ يَتَضَمَّنُ الاِسْتِهَانَةَ ، أَوِ الاِنْتِقَاصَ ، أَوْ تَشْبِيهَ الذَّاتِ الْمُقَدَّسَةِ بِالْمَخْلُوقَاتِ ، مِثْل رَسْمِ صُورَةٍ لِلْحَقِّ سُبْحَانَهُ ، أَوْ تَصْوِيرِهِ فِي مُجَسَّمٍ كَتِمْثَالٍ وَغَيْرِهِ . وَقَدْ يَكُونُ بِالاِعْتِقَادِ ، مِثْل اعْتِقَادِ حَاجَةِ اللهِ تَعَالَى إِلَى الشَّرِيكِ. حُكْمُ الاِسْتِخْفَافِ بِاَللهِ تَعَالَى : - أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الاِسْتِخْفَافَ بِاللهِ تَعَالَى بِالْقَوْل ، أَوِ الْفِعْل ، أَوْ الاِعْتِقَادِ حَرَامٌ ، فَاعِلُهُ مُرْتَدٌّ عَنِ الإْسْلاَمِ تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْمُرْتَدِّينَ ، سَوَاءٌ أَكَانَ مَازِحًا أَمْ جَادًّا. قَال تَعَالَى : { وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُل أَبِاللهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ  (التوبة : ٦٥-٦٦)} .
“Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, terdapat keterangan berikut ini: “Meremehkan Allah I, ada kalanya dengan ucapan seperti pembicarakan yang dimaksudkan merendahkan dan meremehkan dalam pemahaman manusia dalam perbedaan keyakinan mereka seperti mengutuk dan menjelek-jelekkan, baik ucapan yang meremehkan itu terhadap salah satu Asma Allah I atau salah satu sifat-sifat-Nya, seraya merusak kemuliaan-Nya, sekiranya ia ketahui bahwa dirinya telah mencemarkan, meremehkan dan merendahkan, seperti menyifati Allah dengan sesuatu yang tidak layak, atau meremehkan sebagian perintah-Nya, ancaman-Nya atau keagungan-Nya.
Terkadang meremehkan Allah itu dengan perbuatan, hal ini terjadi dengan setiap perbuatan yang mengandung penghinaan, merendahkan, atau menyerupakan Dzat Tuhan Yang Maha Suci dengan makhluk-Nya seperti melukis gambar Tuhan, atau menggambarkan Tuhan dalam benda materi seperti berhala dan sesamanya. Dan terkadang meremehkan Tuhan dengan keyakinan, seperti meyakini bahwa Tuhan membutuhkan sekutu. Hukum meremehkan Allah. Para ulama fuqaha telah sepakat bahwa meremehkan Allah I dengan ucapan, atau perbuatan dan atau keyakinan adalah haram, pelakunya murtad (keluar) dari Islam, hukum-hukum orang murtad berlaku baginya, baik ia melakukannya dengan tujuan bergurau atau serius. Allah I berfirman: “Dan bila engkau (Wahai Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka mereka sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya bermain-main (bercanda)”, katakan; “Adakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari alasan, sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS. At-Taubah; 65-66).
وَقَالَ الْحَبِيْبُ عَبْدُ اللهِ بْنُ حُسَيْنٍ بْنِ طَاهِرٍ بَاعَلْوِي الْحَضْرَمِيُّ ١۲٧۲ هـ) فِي كِتَابِهِ سُلَّمِ التَّوْفِيْقِ: وَحَاصِلُ أَكْثَرِ تِلْكَ الْعِبَارَاتِ يَرْجِعُ إِلَى أَنَّ كُلَّ عَقْدٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ قَوْلٍ يَدُلُّ عَلَى اسْتِهَانَةٍ أَوِ اسْتِخْفَافٍ بِاللهِ تَعَالَى أَوْ كُتُبِهِ أَوْ أَنْبِيَائِهِ أَوْ مَلاَئِكَتِهِ أَوْ شَعَائِرِهِ أَوْ مَعَالِمِ دِيْنِهِ أَوْ أَحْكَامِهِ أَوْ وَعْدِهِ أَوْ وَعِيْدِهِ كُفْرٌ أَوْ مَعْصِيَةٌ فَلْيَحْذَرِ اْلإِنْسَانُ مِنْ ذَلِكَ جُهْدَهُ.
Habib Abdullah bin Husain bin Thahir Ba-Alwi al-Hadhrami  (w. 1272 H) berkata dalam kitabnya Sullam al-Taufiq: Kesimpulan semua ungkapan-ungkapan tersebut kembali pada, bahwa setiap keyakinan, atau perbuatan dan atau ucapan yang menunjukkan pada penghinaan atau meremehkan kepada Allah I, atau kitab-kitab-Nya, atau para nabi-Nya, atau para malaikat-Nya, atau simbol-simbol agama-Nya, atau hukum-hukum-Nya, atau janji-Nya, dan atau ancaman-Nya adalah kufur atau maksiat. Oleh karena itu, hendaknya seseorang berhati-hati akan hal tersebut dengan segenap kemampuannya.
Pertanyaan (2):
Dosen tersebut juga berpandangan bahwa menginjak mushhaf al-Qur’an boleh-boleh saja, hanya tidak etis. Bagaimana sebenarnya hukum menginjak al-Qur’an?
Jawaban :
Hukum menginjak mushhaf al-Qur’an jelas haram dan pelakunya menjadi murtad (keluar) dari Islam.
Dasar Pengambilan:
قَالَ اْلإِمَامُ الْقَاضِيْ عِيَاضُ (ت ٥٤٤ ه) فِي كِتَابِهِ الشِّفَا بِتَعْرِيْفِ حُقُوْقِ الْمُصْطَفَى ٢/٣٠٤: وَاعْلَمْ أَنَّ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلقُرْآنِ أَوِ الْمُصْحَفِ أَوْ بِشَيْءٍ مِنْهُ أَوْ سَبَّهُمَا أَوْ جَحَدَهُ أَوْ حَرْفًا مِنْهُ أَوْ آَيَةً أَوْ كَذَّبَ بِهِ أَوْ بِشَيْءٍ مِنْهُ أَوْ كَذَّبَ بِشَيْءٍ مِمَّا صَرَّحَ بِهِ فِيْهِ مِنْ حُكْمٍ أَوْ خَبَرٍ أَوْ أَثْبَتَ مَا نَفَاهُ أَوْ نَفَى مَا أَثْبَتَهُ عَلىَ عِلْمٍ مِنْهُ بِذَلِكَ أَوْ شَكَّ فِيْ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ كَافِرٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِإِجْمَاعٍ اهـ
Al-Imam al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) berkata dalam kitabnya al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa juz 2 hal. 304: “Ketahuilah bahwa orang yang meremehkan al-Qur’an, atau mushhaf, atau sesuatu darinya, atau memakinya, atau mengingkarinya, atau mengingkari satu huruf atau satu ayat darinya, atau mendustakannya, atau sebagiannya, atau mendustakan sesuatu yang dijelaskan oleh al-Qur’an berupa hukum, atau berita, atau menetapkan sesuatu yang dinafikan oleh al-Qur’an, atau menafikan sesuatu yang ditetapkannya dengan sengaja atau meragukan sesuatu darinya, maka dia adalah kafir menurut ahli ilmu secara ijma’.”
وَفِي الْمَوْسُوْعَةِ الْفِقْهِيَّةِ الْكُوَيْتِيَّةِ (٣٨/٢١) مَا يَلِيْ: إِذَا أَهَانَ الْمُسْلِمُ مُصْحَفًا مُتَعَمِّدًا مُخْتَارًا يَكُونُ مُرْتَدًّا وَيُقَامُ عَلَيْهِ حَدُّ الرِّدَّةِ .وَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى ذَلِكَ ، فَمِنْ صُوَرِ ذَلِكَ مَا قَال الْحَنَفِيَّةُ : لَوْ وَطِئَ بِرِجْلِهِ الْمُصْحَفَ اسْتِخْفَافًا وَإِهَانَةً يَكُونُ كَافِرًا ، وَكَذَا مَنْ أَمَرَ بِوَطْئِهِ يَكُونُ كَافِرًا
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (38/21) terdapat keterangan sebagai berikut: “Apabila seorang Muslim menghina mushhaf al-Qur’an dengan sengaja dan kemauannya, maka ia murtad dan had murtad harus diberlakukan kepadanya. Para ulama fuqaha telah mengeyepakati hal tersebut. Di antara contoh penghinaan Mushhaf adalah apa yang dikatakan oleh ulama Hanafiyah: “Apabila seseorang menginjak mushhaf dengan kakinya karena meremehkan dan menghina, maka ia menjadi kafir. Demikian pula orang yang menyuruhnya menginjak mushhaf juga menjadi kafir.
Pertanyaan (3):
Mengapa mushhaf al-Qur’an itu wajib dimuliakan, padahal itu hanya simbol dari firman Allah?
Jawaban:
Mushhaf al-Qur’an itu wajib dimuliakan karena menjadi simbol dari firman Allah yang mulia.
Dasar Pengambilan:
قَالَ اْلإِمَامُ حُجَّةُ اْلإِسْلاَمِ الْغَزَالِيُّ (ت ٥٠٥ ه) فِي اْلاِقْتِصَاد فِي اْلاِعْتِقَادِ ص ١٩٠: كَلاَمُ اللهِ تَعَالَى مَكْتُوْبٌ فِي الْمَصَاحِفِ مَحْفُوْظٌ فِي الْقُلُوْب مَقْرُوْءٌ بِاْلأَلْسِنَةِ، وَأَمَّا الْكاَغِدُ وَالْحِبْرُ وَالْكِتَابَةُ وَالْحُرُوْفُ وَالْأَصْوَاتُ كُلُّهَا حَادِثَةٌ لأَنَّهَا أَجْسَامٌ وَأَعْرَاضٌ فِيْ أَجْسَامٍ فَكُلُّ ذَلِكَ حَادِثٌ. ... فَكَذَلِكَ الْكَلاَمُ الْقَدِيْمُ الْقَائِمُ بِذَاتِ اللهِ تَعَالَى هُوَ الْمَدْلُوْلُ لاَ ذَاتُ الدَّلِيْلِ وَالْحُرُوْفُ أَدِلَّةٌ وَلِلْأَدِلَّةِ حُرْمَةٌ إِذْ جَعَلَ الشَّرْعُ لَهَا حُرْمَةً فَلِذَلِكَ وَجَبَ احْتِرَامُ الْمُصْحَفِ لِأَنَّ فِيْهِ دَلاَلَةً عَلىَ صِفَةِ اللهِ تَعَالَى.
Al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali (w. 505 H) berkata dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad hal. 190: Firman Allah itu ditulis di dalam mushhaf, dihafal dalam hati dan dibaca dengan lisan. Adapun kertas, tinta, tulisan, huruf dan suara, semuanya adalah baru, karena merupakan benda dan sifat benda. Jadi semuanya baru. Firman Allah yang qadim (tidak berpermulaan) yang menetap pada Dzat Allah, adalah yang ditunjukkan oleh firman itu, bukan petunjuk itu sendiri. Sedangkan huruf-huruf itu merupakan simbol/rambu-rambu/petunjuk. Simbol itu memiliki kemuliaan karena agama memuliakannya, oleh karena itu memuliakan mushhaf hukumnya wajib, karena di dalamnya ada petunjuk atas sifat Allah.
Pertanyaan (4):
Adakah dalil yang menyatakan bahwa meremehkan dan menghina mushhaf al-Qur’an itu murtad?
Jawaban:
Dalil yang menyatakan bahwa meremehkan dan menghina mushhaf al-Qur’an itu murtad terdapat di dalam al-Qur’an.
Dasar Pengambilan:
قَال تَعَالَى : { وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُل أَبِاللهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ  (التوبة : ٦٥-٦٦)} .
Allah I berfirman: “Dan bila engkau (Wahai Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka mereka sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya bermain-main (bercanda)”, katakan (wahai Muhammad); “Adakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari alasan, sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS. At-Taubah; 65-66).
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Fakhruddin ar-Razi berkata:
قَالَ اْلإِمَامُ فَخْرُ الدِّيْنِ الرَّازِيُّ (ت ٦٠٤ ه) فِيْ تَفْسِيْرِهِ ١٦/١٢٦: اَلْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ : أَنَّهُ تَعَالَى حَكَى عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يَسْتَهْزِئُوْنَ بِاللهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ اْلاِسْتِهْزَاءَ بِاللهِ مُحَالٌ. فَلاَ بُدَّ لَهُ مِنْ تَأْوِيْلٍ وَفِيْهِ وُجُوْهٌ : اَلْأَوَّلُ : اَلْمُرَادُ بِالْاِسْتِهْزَاءِ بِاللهِ هُوَ اْلاِسْتِهْزَاءُ بِتَكَالِيْفِ اللهِ تَعَالَى. الثَّانِيْ : يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ الْمُرَادُ الْاِسْتِهْزَاءَ بَذِكْرِ اللهِ ، فَإِنَّ أَسْمَاءَ اللهِ قَدْ يَسْتَهْزِئُ الْكَافِرُ بِهَا كَمَا أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُعَظِّمُهَا وَيُمَجِّدُهَا. قَالَ تَعَالَى : {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الاعْلَى} (الأعلى : 1) فَأَمَرَ الْمُؤْمِنَ بِتَعْظِيْمِ اسْمِ اللهِ. ... وَأَمَّا قَوْلُهُ : {وَءَايَـاتِه } فَالْمُرَادُ بِهَا الْقُرْآَنُ ، وَسَائِرُ مَا يَدُلُّ عَلَى الدِّيْنِ. ... قَوْلُهُ : {قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَـانِكُمْ } يَدُلُّ عَلَى أَحْكَامٍ. الْحُكْمُ الْأَوَّلُ أَنَّ اْلاِسْتِهْزَاءَ بِالدِّيْنِ كَيْفَ كَانَ كُفْرٌ بْاللهِ. وَذَلِكَ لِأَنَّ الْاِسْتِهْزَاءَ يَدُلُّ عَلَى الْاِسْتِخْفَافِ وَالْعُمْدَةُ الْكُبْرَى فِي الْإِيْمَانِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى بِأَقْصَى اْلإِمْكَانِ وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا مُحَالٌ.
Al-Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 604 H) berkata dalam tafsirnya juz 16 hal. 126: Masalah kedua. Allah I menceritakan bahwa kaum munafiq itu mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya. Telah dimaklumi bahwa mengolok-olok Allah itu mustahil. Maka hal ini harus dilakukan ta’wil. Dalam hal ini ada beberapa jalan. Pertama, yang dimaksud mengolok-olok Allah adalah aturan-aturan Allah I. Kedua, boleh jadi maksudnya mengolok-olok dzikir kepada Allah. Terkadang nama-nama Allah itu diolok-olok oleh orang kafir. Sebagaimana seorang mukmin mengagungkan dan memuliakannya. Allah I berfirman: Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. (QS. al-A’la : 1). Allah I memerintah-kan mukmin mengagungkan nama Allah I ... Sedangkan firman Allah “dan ayat-ayat-Nya”, maksudnya adalah al-Qur’an dan semua hal yang menunjukkan pada agama... Firman Allah sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”, menunjukkan kepada beberapa hukum. Hukum pertama, bahwa mengolok-olok agama dengan cara bagaimanapun adalah kekafiran kepada Allah. Demikian ini, karena mengolok-olok itu menunjukkan pada sikap meremehkan. Sedangkan sandaran terbesar dalam keimanan adalah mengagungkan Allah dengan kemampuan terbesar. Menggabungkan antara keduanya jelas mustahil.
Pertanyaan (5):
Apabila orang yang menghina agama atau simbol-simbol agama tidak bermaksud keluar dari Islam, apakah tetap dihukumi murtad dan keluar dari Islam?
Jawaban:
Orang yang menghina agama atau simbol-simbol agama, dihukumi keluar dari Islam dan murtad, meskipun tidak bermaksud keluar dari Islam.
Dasar Pengambilan
اَلرِّدَّةُ وَهِيَ قَطْعُ الْإِسْلاَم،ِ وَتَنْقَسِمُ إِلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: أَفْعَالٌ وَأَقْوَالٌ وَاعْتِقَادَاتٌ كَمَا اتَّفقَ عَلَى ذَلِكَ أَهْلُ الْمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَغَيْرُهُمْ، كَالنَّوَوِيِّ (ت ٦٧٦ هـ) وَغَيْرِهِ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ، وَابْنِ عَابِدِيْنَ ( ت ١۲٥۲ هـ ) وَغَيْرِهِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ، وَمُحَمَّدٍ عِلَّيْشٍ ( ت ١۲٩٩ هـ ) وَغَيْرِهِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ، وَالْبُهُوْتِيِّ ( ت ١٠٥١ هـ) وَغَيْرِهِ مِنَ الْحَنَابِلَةِ.
Riddah adalah memutuskan Islam. Riddah terbagi kepada tiga macam; riddah (keluar dari Islam) karena perbuatan, karena perkataan dan karena keyakinan. Pembagian ini telah disepakati oleh para ulama dari empat madzhab dan lainnya; seperti, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dan lainnya dari ulama madzhab Syafi’i, al-Imam Ibn Abidin (w 1252 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanafi, Syekh Muhammad Illaisy (w 1299 H) dan lainnya dari ulama madzhab Maliki, dan al-Imam al-Buhuti (w 1051 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanbali.
وَكُلٌّ مِنَ الثَّلاَثَةِ كُفْرٌ بِمُفْرَدِهِ فَالْكُفْرُ الْقَوْلِيُّ كُفْرٌ وَلَوْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ اعْتِقَادٌ أَوْ فِعْلٌ، وَالْكُفْرُ الفِعْلِيُّ كُفْرٌ وَلَوْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ قَوْلٌ أَوِ اعْتِقَادٌ أَوِ انْشِرَاحُ الصَّدْرِ بِهِ، وَالْكُفْرُ الْاِعْتِقَادِيُّ كُفْرٌ وَلَوْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ قَوْلٌ أَوْ فِعْلٌ، وَسَوَاءٌ حُصُوْلُ هَذَا مِنْ جَاهِلٍ بِالْحُكْمِ أَوْ هَازِلٍ أَوْ غَضْبَان.
Setiap satu dari tiga macam kufur di atas dengan sendirinya merupakan kekufuran (keluar dari Islam). Kufur Qawli misalkan, (kufur karena ucapan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkan seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur I’tiqadi dan atau kufur Fi’li. Demikian pula kufur Fi’li (kufur karena perbuatan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkna seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur Qawli, atau kufur I’tiqadi, dan juga walaupun tidak dibarengi dengan tujuan dalam hati untuk keluar dari Islam itu sendiri. Dan demikian pula dengan kufur I’tiqadi dengan sendirinya ia merupakan kekufuran walaupun tidak dibarengi dengan kufur Qawli dan atau kufur Fi’li. Dengan demikian setiap satu dari tiga macam kufur ini bila terjadi masing-masing maka dengan sendirinya mengeluarkan seseorang dari Islam, sama halnya bila itu terjadi dari seorang yang tidak mengetahui hukumnya, atau orang yang dalam keadaan bercanda, dan atau orang yang dalam keadaan marah.
وقَالَ رَسُوْلُ اللهِ r:” إنَّ الرَّجلَ لَيَتَكلَّمُ بالكلمةِ لا يَرى بها بأسًا يهوِي بِها سبعينَ خَرِيْفًا في النَّارِ ” رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَفِيْ مَعْنَاهُ حَدِيْثٌ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya –yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. (HR. at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih masing-masing).
وَقَالَ اْلإِمَامُ الْمُجْتَهِدُ مُحَمَّدُ بْنِ جَرِيْرٍ الطَّبَرِيُّ ( ت ٣١٠ هـ ) فِيْ كِتَابِهِ " تَهْذِيْبُ الْآَثاَرِ": إِنَّ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مَنْ يَخْرُجُ مِنَ اْلإِسْلَامِ مِنْ غَيْر أَنْ يَقْصدَ الْخُرُوْجَ مِنْهُ اهـ.
Salah seorang Imam Mujtahid terkemuka; yaitu Imam Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) dalam kitab karyanya berjudul Tahdzib al-Atsar, berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya”.
وَقَالَ الْحَافِظُ الْكَبِيْرُ أَبُوْ عوَانَةَ (ت ٣١٦ هـ) الَّذِيْ عَمِلَ مُسْتَخْرَجًا عَلىَ مُسْلِمٍ، فِيْمَا نَقَلَهُ عَنْهُ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ فَتْحِ الْبَارِيْ ج١۲/٣٠١-٣٠۲:” وَفِيْهِ أَنَّ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مَنْ يَخْرُجُ مِنَ الدِّيْنِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقْصِدَ الْخُرُوْجَ مِنْهُ وَمِنْ غَيْرِ أَنْ يَخْتَارَ دِيْنًا عَلىَ دِيْنِ اْلإِسْلاَمِ” اهـ.
Ahli hadits terkemuka yang telah membuat kitab al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim, yaitu al-Hafizh Abu Uwanah (w 316 H), berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya, dan atau walaupun ia tidak bertujuan memiliki agama lain selain agama Islam”. (Dikutip oleh al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari, j. 12, h. 301-302).
Kewajiban Setiap Muslim
وَقَالَ الشَّيْخُ عَبْدُ اللهِ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ طَاهِرٍ الْحَضْرَمِيُّ (ت ١۲٧۲ هـ) فِيْ كِتَابِهِ سُلَّمُ التَّوْفِيْقِ إِلَى مَحَبَّةِ اللهِ عَلىَ التَّحْقِيْقِ:” يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ حِفْظُ إِسْلاَمِهِ وَصَوْنُهُ عَمَّا يُفْسِدُهُ وَيُبْطِلُهُ وَيَقْطَعُهُ وَهُوَ الرِّدَّةُ وَالْعِيَاذُ بِاللهِ تَعَالَى وَقَدْ كَثُرَ فِي هَذَا الزَّمَانِ التَّسَاهُلُ فِي الْكَلاَمِ حَتَّى إِنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ بَعْضِهِمْ أَلْفَاظٌ تُخْرِجُهُمْ عَنِ اْلإِسْلاَمِ وَلاَ يَرَوْنَ ذَلِكَ ذَنْبًا فَضْلاً عَنْ كَوْنِهِ كُفْرًا”اهـ
Syekh Abdullah ibn al-Husain ibn Thahir al-Hadlrami (w 1272 H) dalam kitab Sullam at-Taufiq Ila Mahabbah Allah ‘Ala at-Tahqiq, berkata: “Wajib atas setiap orang muslim menjaga Islamnya, dan memeliharanya dari segala perkara yang dapat merusaknya, membatalkannya, dan memutuskannya; yaitu riddah –semoga kita dilindungi oleh Allah darinya–. Dan sungguh di zaman sekarang ini telah banyak orang yang menganggap remeh dalam berkata-kata hingga telah keluar dari sebagian mereka kata-kata yang telah mengeluarkan mereka dari Islam. Ironisnya, mereka tidak menganggap hal itu sebagai dosa, terlebih menganggapnya sebagai kekufuran”.
قَالَ الشَّيْخُ عَبْدُ اللهِ الْهَرَرِيُّ (ت ١٤۲٩ هـ) ص/١٤: ” وَذَلِكَ مِصْدَاقُ قَوْلِهِ r :” إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِيْ بِهَا فِي النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا” أَيْ مَسَافَةَ سَبْعِيْنَ عَامًّا فِي النُّـزُوْلِ وَذَلِكَ مُنْتَهَى جَهَنَّمَ وَهُوَ خَاصٌّ بِالْكُفَّارِ. وَالْحَدِيْثُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَه. وَفِيْ مَعْنَاهُ حَدِيْثٌ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ، وَهَذَا الْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ عَلىَ أَنَّهُ لاَ يُشْتَرَطُ فِي الْوُقُوْعِ فِي الْكُفْرِ مَعْرِفَةُ الْحُكْمِ وَلاَ انْشِرَاحُ الصَّدْرِ وَلاَ اعْتِقَادُ مَعْنَى اللَّفْظِ.”اهـ
Syaikh Abdullah ibn Muhammad al-Harari (w 1429 H), dalam kitab Mukhtashar Sullam at-Taufiq, h. 14, berkata: “–bahwa menganggap remeh kata-kata kufur dapat mengeluarkan seseorang dari Islamnya– hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya –yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. Artinya, ia akan masuk ke dalam neraka hingga ke dasarnya yang jarak hingga dasarnya tersebut adalah 70 tahun, dan dasar neraka adalah khusus sebagai tempat bagi orang-orang kafir. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadits ini merupakan dalil bahwa terjatuh dalam kufur tidak disyaratkan harus mengetahui hukumnya, juga tidak disyaratkan bahwa hatinya benar-benar bertujuan keluar dari Islam, serta juga tidak disyaratkan bahwa ia harus meyakini bahwa kata-kata tersebut dapat mengeluarkan dirinya dari Islam”. (Artinya, secara mutlak dengan hanya berkata-kata kufur; seseorang menjadi kafir/keluar dari Islam).
وَقَالَ السَّيِّدُ الْبَكْرِيُّ الدِّمْيَاطِيُّ (ت ١٣١٠هـ) فِيْ إِعَانَةِ الطَّالِبِيْنَ عَلَى حَلِّ أَلْفَاظِ فَتْحِ الْمُعِيْنِ ( م٢٤/١٣٣): “وَاعْلَمْ أَنَّهُ يَجْرِيْ عَلَى أَلْسِنَةِ الْعَامَّةِ جُمْلَةٌ مِنْ أَنْوَاعِ الْكُفْرِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَعْلَمُوْا أَنَّهَا كَذَلِكَ فَيَجِبُ عَلَى أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يُبَيِّنُوْا لَهُمْ ذَلِكَ لَعَلَّهُمْ يَجْتَنِبُوْنَهُ إِذَا عَلِمُوْهُ لِئَلاَّ تُحْبَطَ أَعْمَالُهُمْ وَيُخَلَّدُوْنَ فِيْ أَعْظَمِ الْعَذَابِ، وَأَشَدِّ الْعِقَابِ، وَمَعْرِفَةُ ذَلِكَ أَمْرٌ مُهِمٌّ جِدًّا، وَذَلِكَ لِأَنَّ مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الشَّرَّ يَقَعُ فِيْهِ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ، وَكُلُّ شَرٍّ سَبَبُهُ الْجَهْلُ، وَكُلُّ خَيْرٍ سَبَبُهُ الْعِلْمُ، فَهُوَ النُّوْرُ الْمُبِيْنُ، وَالْجَهْلُ بِئْسَ الْقَرِيْنُ”اهـ
As-Sayyid al-Bakri ad-Dimyathi (w 1310 H) dalam kitab I’anah al-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in, vol. 2, j. 4, h. 133, berkata: “Ketahuilah bahwa banyak orang-orang awam yang dengan lidahnya telah berkata-kata kufur tanpa mereka ketahui bahwa sebenarnya hal itu merupakan kekufuran (dan menjatuhkan mereka di dalamnya). Maka wajib atas seorang yang memiliki ilmu untuk menjelaskan bagi mereka perkara-perkara kufur tersebut supaya bila mereka mengetahinya maka mereka akan menghindarinya, dan dengan demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia, serta mereka tidak dikekalkan di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam siksaan besar dan adzab yang sangat pedih. Sesungguhnya mengenal masalah-masalah kufur itu adalah perkara yang sangat penting, karena seorang yang tidak mengetahui keburukan maka sadar atau tidak ia pasti akan terjatuh di dalamnya. Dan sungguh setiap keburukan itu pangkalnya (sebab utamnya) adalah kebodohan (tidak memiliki ilmu), dan setiap kebaikan itu pangkalnya adalah ilmu, maka ilmu adalah petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan adalah seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”.
Kewajiban Orang Yang Murtad
قَالَ الْحَبِيْبُ عَبْدُ اللهِ بْنُ حُسَيْنٍ بن ِطْاَهِرٍ بَاعَلْوِي الْحَضْرَمِيُّ ١۲٧۲ هـ) فِيْ كِتَابِهِ سُلَّمِ التَّوْفِيْقِ: فَصْلٌ يَجِبُ عَلَى مَنْ وَقَعَتْ مِنْهُ رِدَّةٌ الْعَوْدُ فَوْرًا إِلَى اْلإِسْلاَمِ بِالنُّطْقِ بِالشَّهَادَتَيْنِ وَاْلإِقْلَاعُ عَمَّا وَقَعَتْ بِهِ الرِّدَّةُ، وَيَجِبُ عَلَيْهِ النَّدَمُ عَلىَ مَا صَدَرَ مِنْهُ وَالْعَزْمُ عَلىَ أَنْ لاَ يَعُوْدَ لِمِثْلِهِ وَقَضَاءُ مَا فَاتَهُ مِنْ وَاجِبَاتِ الشَّرْعِ فِيْ تِلْكَ الْمُدَّةِ فَإِنْ لَمْ يَتُبْ وَجَبَتْ اِسْتِتَابَتُهُ وَلاَ يُقْبَلُ مِنْهُ إِلاَّ اْلإِسْلَامُ أَوِ الْقَتْلُ، وَبَطَلَ بِهَا نِكَاحُهُ قَبْلَ الدُّخُوْلِ وَكَذَا بَعْدَهُ إِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فِي الْعِدَّةِ، وَلَا يَصِحُّ عَقْدُ نِكَاحِهِ وَتَحْرُمُ ذَبِيْحَتُهُ وَلَا يَرِثُ وَلَا يُوْرَثُ وَلَا يُصَلىَّ عَلَيْهِ وَلَا يُغْسَلُ وَلَا يُكْفَنُ وَمَالُه فَيْءٌ اهـ
Al-Habib Abdullah bin Husan bin Thahir ba-Alwi al-Hadhrami berkata dalam kitabnya Sullam al-Taufiq: “Pasal. Wajib bagi orang yang terjerumus dalam kemurtadan, segera kembali kepada Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, dan mencabut perbuatan yang menyebabkan kemurtadannya. Ia juga wajib menyesali apa yang telah diperbuatnya dan bermaksud tidak akan mengulanginya lagi, dan mengganti kewajiban-kewajiban syara’ yang ditinggalkannya pada masa murtad tersebut. Apabila ia tidak bertaubat, maka wajib diperintahkan bertaubat. Tidak diterima darinya kecuali Islam atau dibunuh. Kemurtadan juga membatalkan nikahnya sebelum berhubungan suami isteri, demikian pula sesudahnya, apabila ia tidak kembali kepada Islam dalam masa iddah. Tidak sah pula akad nikahnya. Haram pula hewan yang disembelihnya. Ia tidak berhak menerima warisan, dan hartanya tidak dapat diwariskan. Ia tidak boleh dishalati, dimandikan dan dikafani. Hartanya menjadi harta fay’ (milik umat Islam).”
والحمد لله رب العالمين، وصلى الله على سيدنا محمد النبي الأمي وعلى آله وصحبه وبارك وسلم تسليما كثيرا.

Selasa, 27 Desember 2011

Membungkam Ulama Wahabi Tuna Netra

Ketika orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi saw dalam sabdanya, "Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman, dan membiarkan para penyembah berhala." Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka. Mereka menyembelih Syaikh Abdullah al-Zawawi, guru para ulama madzhab al-Syafi'i, sebagaimana layaknya menyembih kambing. Padahal usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh al-Zawawi yang juga sudah memasuki usia senja, juga mereka sembelih.
Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma Allah dan sifat-sifat-Nya. Ulama yang setuju dengan pendapat mereka, akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi dari Hijaz. Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah al-Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hapal Sirah Nabi saw. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya, di antaranya seorang ulama mereka yang tuna netra dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur'an dan hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah. Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur'an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta pada pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Lalu Syaikh Abdullah al-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu:
"Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur'an, maka sesungguhnya Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur'an:
وَمَنْ كَانَ فِيْ هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً
"Dan Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)." (QS. al-Isra' : 72).
Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam al-Qur'an tidak ada majaz?"
Mendengar sanggahan Syaikh al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun menjerit dan memerintahkan agar Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju'nat al-'Aththar.
Kisah keberanian kaum Wahhabi untuk berdebat dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah ini hanya terjadi pada awal-awal berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Kini para ulama Wahhabi tidak pernah lagi berani untuk berdebat dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah, baik di Timur Tengah maupun di Tanah Air, setelah mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah menang berdebat dengan para ulama.

Islam Anjurkan Doa Bersama

Ada seorang teman yang sekarang tinggal di Bandung sebagai kiai muda, curhat kepada saya melalui SMS, bahwa ada sekelompok aliran di daerahnya, ketika selesai shalat, mereka tidak mau berdoa bersama, dengan dipandu seorang imam. Alasan mereka, hal itu tidak ada haditsnya dan termasuk bid’ah. Hal yang sama juga terjadi pada saya.
Dalam sebuah diskusi tentang bid’ah dan tradisi, di Mushalla Nurul Hikmah, Perum Dalung Permai Denpasar, pada 22 Juli 2010 yang lalu, ada seorang Salafi yang berpendapat bahwa doa bersama itu bid’ah. Ketika salah seorang teman kami berdoa sebagai penutup acara, jamaah yang hadir semuanya mengucapkan amin sambil mengangkat kedua tangan mereka. Sementara laki-laki Salafi yang menolak doa bersama tersebut, tidak ikut amin dan tidak mengangkat kedua tangannya.
Tentu saja apa yang dilakukan oleh kaum Salafi itu tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Justru tradisi doa bersama, di mana salah seorang dari jamaah mengucapkan doa, sedangkan anggota jamaah lainnya membaca amin, merupakan tradisi Islami yang benar dan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits hasan Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك
“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri RA –beliau seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi’ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan.”
Dalam hadits lain diterangkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلدَّاعِيْ وَالْمُؤَمِّنُ فِي اْلأَجْرِ شَرِيْكَانِ. رواه الديلمي في مسند الفردوس بسند ضعيف.
“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala.” (HR. al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).
Menurut al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dalam kitabnya al-Mudawi li-’Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi (juz 4 hal. 43), kelemahan hadits al-Dailami di atas dapat diperkuat dengan ayat al-Qur’an. Allah SWT berfirman tentang kisah Nabi Musa AS:
قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا. (يونس : ٨٩).
“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus.” (QS. Yunus : 89).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menegaskan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS. Padahal yang berdoa sebenarnya Nabi Musa AS, sedangkan Nabi Harun AS hanya mengucapkan amin, sebagaimana diterangkan oleh para ulama ahli tafsir. Nabi Musa AS yang berdoa dan Nabi Harun AS yang mengucapkan amin, dalam ayat tersebut sama-sama dikatakan berdoa. Hal ini pada dasarnya menguatkan substansi hadits di atas, bahwa orang yang berdoa dan yang mengucapkan amin sama-sama mendapatkan pahala doa. Mengenai doa Nabi Musa AS tersebut, telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya, yaitu ayat berikut ini:
وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ، (يونس : ٨٨).
“Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasankalah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (QS. Yunus : 88).
Dalam hadits lain diterangkan:
عَنْ يَعْلَى بْنِ شَدَّادٍ قَالَ: حَدَّثَنِيْ أَبِيْ وَعُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ حَاضِرٌ يُصَدِّقُهُ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: هَلْ فِيْكُمْ غَرِيْبٌ؟ يَعْنِيْ أَهْلَ الْكِتَابِ، فَقُلْنَا: لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ وَقَالَ: اِرْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ وَقُوْلُوْا لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، فَرَفَعْنَا أَيْدِيَنَا سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ: اَللّهُمَّ أَنْتَ بَعَثْتَنِيْ بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهَا الْجَنَّةَ وَأَنْتَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ، ثُمَّ قَالَ: أَبْشِرُوْا فَقَدْ غُفِرَ لَكُمْ. رواه الإمام أحمد بسند حسنه الحافظ المنذري، والطبراني في الكبير وغيرهما.
“Ya’la bin Syaddad berkata: “Ayahku bercerita kepadaku, sedangkan Ubadah bin al-Shamit hadir membenarkannya: “Suatu ketika kami bersama Nabi SAW. Beliau berkata: “Apakah di antara kamu ada orang asing? (Maksudnya ahlul-kitab).” Kami menjawab: “Tidak ada, ya Rasulullah.” Lalu Rasul SAW memerintahkan agar mengunci pintu. Kemudian bersabda: “Angkatlah tangan kalian dan ucapkan la ilaha illlallah.” Maka kami mengangkat tangan kami beberapa saat. Kemudian Rasul SAW berkata: “Ya Allah, Engkau telah mengutus aku membawa kalimat ini, dan Engkau janjukan surga padaku dengan kalimat tersebut, sedangkan Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian Rasul SAW bersabda: “Bergembiralah, karena Allah telah mengampuni kalian.” (HR. al-Imam Ahmad dengan sanad yang dinilai hasan oleh al-Hafizh al-Mundziri, al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan lain-lain.
Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat membaca kalimat tauhid (la ilaha illallah) bersama-sama. Lalu para sahabat pun mengucapkannya bersama-sama sambil mengangkat tangan mereka. Kemudian Rasulullah SAW membacakan doa. Dengan demikian, dzikir bersama sebenarnya memiliki tuntunan dari hadits shahih ini.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi doa bersama, di mana salah seorang di antara jamaah memimpin doa, sedangkan jamaah yang lain mengucapkan amin, baik hal tersebut didahului dengan dzikir bersama maupun tidak, pada dasarnya memiliki dasar hadits yang kuat, dan bahkan merupakan tuntunan al-Qur’an al-Karim sebagaimana yang terdapat dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS. Wallahu a’lam.