KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL
TENTANG
HUKUM PENISTAAN AGAMA ISLAM
LEMBAGA BAHTSUL
MASAIL
NAHDHATUL ULAMA
KABUPATEN JEMBER
4 Shafar 1433 H/29
Desember 2011 M
Di Kantor PCNU Jember
Hukum Penistaan Agama Islam
Deskripsi Masalah:
Seorang dosen ketika mengajar di dalam
kelas menulis lafal jalalah (lafal Allah) di papan tulis, lalu menghapusnya
dengan sepatu yang dikenakannya.
Pertanyaan (1):
Bagaimana hukum perbuatan si dosen
tersebut dalam pandangan syariat Islam?
Jawaban:
Apa yang dilakukan oleh si dosen
tersebut merupakan penghinaan dan meremehkan terhadap simbol-simbol agama Allah
I, yang dihukumi haram, dan
menyebabkan kemurtadannya dari Islam, dan baginya berlaku semua hukum-hukum
murtad.
Dasar
Pengambilan
قَالَ اْلإِمَامُ ابْنُ حَجَرٍ الْهَيْتَمِيُّ
(ت ٩٧٤ هـ) فِي اْلإِعْلاَمُ بِقَوَاطِعِ
اْلإِسْلاَمِ ص/٣٤٩: وَمِنْهَا أَيْ مِنَ
الْمُكَفِّرَاتِ إِلْقَاءُ الْمُصْحَفِ فِي الْقَاذُوْرَاتِ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ
قَرِيْنَةٍ تَدُلُّ عَلَى عَدَمِ اْلاِسْتِهْزَاءِ وَإِنْ ضَعُفَتْ، وَالْمُرَادُ
بِهَا النَّجَاسَاتُ مُطْلًقًا بَلْ وَالْقَذَرُ الطَّاهِرُ أَيْضًا كَمَا صَرَّحَ
بِهِ بَعْضُهُمْ. قَالَ الرُّوْيَانِيُّ: وكَالْمُصْحَفِ فِيْ ذَلِكَ أَوْرَاقُ الْعُلُوْمِ
الشَّرْعِيَّةِ وَيُؤَيِّدُهُ مَا يَأْتِيْ فِيْمَنْ قَالَ قَصْعَةُ ثَرِيْدٍ خَيْرٌ
مِنَ الْعِلْمِ، وكُتُبُ الْحَدِيْثِ وَكُلُّ وَرَقَةٍ فِيْهَا اِسْمٌ مِنْ أَسْمَائِهِ
تَعَالَى أَوْلَى بِذَلِكَ فِيْ كَوْنِ إِلْقَائِهِ فِي الْقَذَرِ مُكَفِّرًا. اهـ
Al-Imam Ibnu Hajar
al-Haitami (w 974 H) berkata dalam kitab al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam
h. 349: “Di antara yang menyebabkan kekafiran adalah melemparkan mushhaf pada
kotoran tanpa ada uzur dan tanpa ada indikasi yang menunjukkan pada tidak meremehkan meskipun
indikasi tersebut lemah. Yang dimaksud dengan kotoran di sini adalah perkara
najis secara mutlak, bahkan kotoran yang suci juga demikian sebagaimana
dijelaskan oleh sebagian ulama. Al-Ruyani berkata: “Sama halnya dengan mushhaf
dalam hal tersebut adalah kertas-kertas ilmu syariat, dan hal ini diperkuat
oleh keterangan berikut tentang seseorang yang berkata, satu mangkuk bubur
lebih baik dari pada ilmu. Kitab-kitab hadits dan setiap kertas yang berisi
salah satu Asma Allah, lebih utama dengan hukum tersebut dalam hal
melemparkannya ke tempat yang kotor menyebabkan pada kekafiran.”
وفي الموسوعة الفقهية الكويتية ج ٣ ص٢٤٩ ما يلي
: الاِسْتِخْفَافُ بِاَللهِ تَعَالَى : - قَدْ يَكُونُ بِالْقَوْل ، مِثْل
الْكَلاَمِ الَّذِي يُقْصَدُ بِهِ الاِنْتِقَاصُ وَالاِسْتِخْفَافُ فِي مَفْهُومِ
النَّاسِ عَلَى اخْتِلاَفِ اعْتِقَادَاتِهِمْ ، كَاللَّعْنِ وَالتَّقْبِيحِ ،
سَوَاءٌ أَكَانَ هَذَا الاِسْتِخْفَافُ الْقَوْلِيُّ بِاسْمٍ مِنْ أَسْمَائِهِ
أَمْ صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ تَعَالَى ، مُنْتَهِكًا لِحُرْمَتِهِ انْتِهَاكًا
يَعْلَمُ هُوَ نَفْسُهُ أَنَّهُ مُنْتَهِكٌ مُسْتَخِفٌّ مُسْتَهْزِئٌ. مِثْل
وَصْفِ اللهِ بِمَا لاَ يَلِيقُ أَوْ
الاِسْتِخْفَافِ بِأَمْرٍ مِنْ أَوَامِرِهِ ، أَوْ وَعْدٍ مِنْ وَعِيدِهِ ، أَوْ
قَدْرِهِ. وَقَدْ يَكُونُ بِالأفْعَال ، وَذَلِكَ بِكُل عَمَلٍ يَتَضَمَّنُ
الاِسْتِهَانَةَ ، أَوِ الاِنْتِقَاصَ ، أَوْ تَشْبِيهَ الذَّاتِ الْمُقَدَّسَةِ
بِالْمَخْلُوقَاتِ ، مِثْل رَسْمِ صُورَةٍ لِلْحَقِّ سُبْحَانَهُ ، أَوْ
تَصْوِيرِهِ فِي مُجَسَّمٍ كَتِمْثَالٍ وَغَيْرِهِ . وَقَدْ يَكُونُ
بِالاِعْتِقَادِ ، مِثْل اعْتِقَادِ حَاجَةِ اللهِ تَعَالَى إِلَى الشَّرِيكِ. حُكْمُ
الاِسْتِخْفَافِ بِاَللهِ تَعَالَى : - أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ
الاِسْتِخْفَافَ بِاللهِ تَعَالَى بِالْقَوْل ، أَوِ الْفِعْل ، أَوْ
الاِعْتِقَادِ حَرَامٌ ، فَاعِلُهُ مُرْتَدٌّ عَنِ الإْسْلاَمِ تَجْرِي عَلَيْهِ
أَحْكَامُ الْمُرْتَدِّينَ ، سَوَاءٌ أَكَانَ مَازِحًا أَمْ جَادًّا. قَال
تَعَالَى : { وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ
وَنَلْعَبُ قُل أَبِاللهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لاَ
تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ (التوبة : ٦٥-٦٦)} .
“Dalam
al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, terdapat keterangan berikut
ini: “Meremehkan Allah I, ada kalanya dengan
ucapan seperti pembicarakan yang dimaksudkan merendahkan dan meremehkan dalam pemahaman
manusia dalam perbedaan keyakinan mereka seperti mengutuk
dan menjelek-jelekkan, baik ucapan yang meremehkan itu terhadap salah satu Asma
Allah I atau salah satu
sifat-sifat-Nya, seraya merusak kemuliaan-Nya, sekiranya ia ketahui bahwa
dirinya telah mencemarkan, meremehkan dan merendahkan, seperti menyifati Allah
dengan sesuatu yang tidak layak, atau meremehkan sebagian perintah-Nya,
ancaman-Nya atau keagungan-Nya.
Terkadang
meremehkan Allah itu dengan perbuatan, hal ini terjadi dengan setiap perbuatan
yang mengandung penghinaan, merendahkan, atau menyerupakan Dzat Tuhan Yang Maha
Suci dengan makhluk-Nya seperti melukis gambar Tuhan, atau menggambarkan Tuhan
dalam benda materi seperti berhala dan sesamanya. Dan terkadang meremehkan
Tuhan dengan keyakinan, seperti meyakini bahwa Tuhan membutuhkan sekutu. Hukum
meremehkan Allah. Para ulama fuqaha telah sepakat bahwa meremehkan Allah I
dengan ucapan, atau perbuatan dan atau keyakinan adalah haram, pelakunya murtad
(keluar) dari Islam, hukum-hukum orang murtad berlaku baginya, baik ia
melakukannya dengan tujuan bergurau atau serius. Allah I
berfirman: “Dan bila engkau
(Wahai Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka
mereka sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya
bermain-main (bercanda)”, katakan; “Adakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan
Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari alasan, sungguh kalian
telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS. At-Taubah; 65-66).
وَقَالَ الْحَبِيْبُ
عَبْدُ اللهِ بْنُ حُسَيْنٍ بْنِ طَاهِرٍ بَاعَلْوِي الْحَضْرَمِيُّ (ت ١۲٧۲ هـ) فِي كِتَابِهِ سُلَّمِ التَّوْفِيْقِ: وَحَاصِلُ أَكْثَرِ تِلْكَ الْعِبَارَاتِ
يَرْجِعُ إِلَى أَنَّ كُلَّ عَقْدٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ قَوْلٍ يَدُلُّ عَلَى اسْتِهَانَةٍ
أَوِ اسْتِخْفَافٍ بِاللهِ تَعَالَى أَوْ كُتُبِهِ أَوْ أَنْبِيَائِهِ أَوْ مَلاَئِكَتِهِ
أَوْ شَعَائِرِهِ أَوْ مَعَالِمِ دِيْنِهِ أَوْ أَحْكَامِهِ أَوْ وَعْدِهِ أَوْ وَعِيْدِهِ
كُفْرٌ أَوْ مَعْصِيَةٌ فَلْيَحْذَرِ اْلإِنْسَانُ مِنْ ذَلِكَ جُهْدَهُ.
Habib Abdullah bin Husain bin
Thahir Ba-Alwi al-Hadhrami (w. 1272 H) berkata
dalam kitabnya Sullam al-Taufiq: Kesimpulan semua ungkapan-ungkapan
tersebut kembali pada, bahwa setiap keyakinan, atau perbuatan dan atau ucapan
yang menunjukkan pada penghinaan atau meremehkan kepada Allah I, atau kitab-kitab-Nya, atau para nabi-Nya, atau para malaikat-Nya, atau
simbol-simbol agama-Nya, atau hukum-hukum-Nya, atau janji-Nya, dan atau
ancaman-Nya adalah kufur atau maksiat. Oleh karena itu, hendaknya seseorang
berhati-hati akan hal tersebut dengan segenap kemampuannya.
Pertanyaan (2):
Dosen tersebut juga berpandangan
bahwa menginjak mushhaf al-Qur’an boleh-boleh saja, hanya tidak etis. Bagaimana
sebenarnya hukum menginjak al-Qur’an?
Jawaban :
Hukum menginjak mushhaf al-Qur’an jelas haram dan
pelakunya menjadi murtad (keluar) dari Islam.
Dasar Pengambilan:
قَالَ اْلإِمَامُ الْقَاضِيْ عِيَاضُ (ت ٥٤٤ ه) فِي كِتَابِهِ الشِّفَا بِتَعْرِيْفِ
حُقُوْقِ الْمُصْطَفَى ٢/٣٠٤: وَاعْلَمْ أَنَّ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلقُرْآنِ أَوِ
الْمُصْحَفِ أَوْ بِشَيْءٍ مِنْهُ أَوْ سَبَّهُمَا أَوْ جَحَدَهُ أَوْ حَرْفًا مِنْهُ
أَوْ آَيَةً أَوْ كَذَّبَ بِهِ أَوْ بِشَيْءٍ مِنْهُ أَوْ كَذَّبَ بِشَيْءٍ مِمَّا
صَرَّحَ بِهِ فِيْهِ مِنْ حُكْمٍ أَوْ خَبَرٍ أَوْ أَثْبَتَ مَا نَفَاهُ أَوْ نَفَى
مَا أَثْبَتَهُ عَلىَ عِلْمٍ مِنْهُ بِذَلِكَ أَوْ شَكَّ فِيْ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ
فَهُوَ كَافِرٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِإِجْمَاعٍ اهـ
Al-Imam al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) berkata dalam kitabnya al-Syifa
bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa juz 2 hal. 304: “Ketahuilah bahwa orang yang
meremehkan al-Qur’an, atau mushhaf, atau sesuatu darinya, atau memakinya, atau
mengingkarinya, atau mengingkari satu huruf atau satu ayat darinya, atau
mendustakannya, atau sebagiannya, atau mendustakan sesuatu yang dijelaskan oleh
al-Qur’an berupa hukum, atau berita, atau menetapkan sesuatu yang dinafikan
oleh al-Qur’an, atau menafikan sesuatu yang ditetapkannya dengan sengaja atau
meragukan sesuatu darinya, maka dia adalah kafir menurut ahli ilmu secara
ijma’.”
وَفِي الْمَوْسُوْعَةِ الْفِقْهِيَّةِ
الْكُوَيْتِيَّةِ (٣٨/٢١) مَا يَلِيْ: إِذَا أَهَانَ الْمُسْلِمُ مُصْحَفًا
مُتَعَمِّدًا مُخْتَارًا يَكُونُ مُرْتَدًّا وَيُقَامُ عَلَيْهِ حَدُّ الرِّدَّةِ
.وَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى ذَلِكَ ، فَمِنْ صُوَرِ ذَلِكَ مَا قَال
الْحَنَفِيَّةُ : لَوْ وَطِئَ بِرِجْلِهِ الْمُصْحَفَ اسْتِخْفَافًا وَإِهَانَةً
يَكُونُ كَافِرًا ، وَكَذَا مَنْ أَمَرَ بِوَطْئِهِ يَكُونُ كَافِرًا
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (38/21) terdapat
keterangan sebagai berikut: “Apabila seorang Muslim menghina mushhaf al-Qur’an
dengan sengaja dan kemauannya, maka ia murtad dan had murtad harus diberlakukan
kepadanya. Para ulama fuqaha telah mengeyepakati hal tersebut. Di antara contoh
penghinaan Mushhaf adalah apa yang dikatakan oleh ulama Hanafiyah: “Apabila
seseorang menginjak mushhaf dengan kakinya karena meremehkan dan menghina, maka
ia menjadi kafir. Demikian pula orang yang menyuruhnya menginjak mushhaf juga
menjadi kafir.
Pertanyaan (3):
Mengapa mushhaf al-Qur’an itu wajib dimuliakan, padahal
itu hanya simbol dari firman Allah?
Jawaban:
Mushhaf al-Qur’an itu wajib dimuliakan karena
menjadi simbol dari firman Allah yang mulia.
Dasar Pengambilan:
قَالَ اْلإِمَامُ
حُجَّةُ اْلإِسْلاَمِ الْغَزَالِيُّ (ت ٥٠٥ ه) فِي اْلاِقْتِصَاد فِي اْلاِعْتِقَادِ
ص ١٩٠: كَلاَمُ اللهِ تَعَالَى مَكْتُوْبٌ فِي الْمَصَاحِفِ مَحْفُوْظٌ فِي الْقُلُوْب
مَقْرُوْءٌ بِاْلأَلْسِنَةِ، وَأَمَّا الْكاَغِدُ وَالْحِبْرُ وَالْكِتَابَةُ وَالْحُرُوْفُ
وَالْأَصْوَاتُ كُلُّهَا حَادِثَةٌ لأَنَّهَا أَجْسَامٌ وَأَعْرَاضٌ فِيْ أَجْسَامٍ
فَكُلُّ ذَلِكَ حَادِثٌ. ... فَكَذَلِكَ الْكَلاَمُ الْقَدِيْمُ الْقَائِمُ بِذَاتِ
اللهِ تَعَالَى هُوَ الْمَدْلُوْلُ لاَ ذَاتُ الدَّلِيْلِ وَالْحُرُوْفُ أَدِلَّةٌ
وَلِلْأَدِلَّةِ حُرْمَةٌ إِذْ جَعَلَ الشَّرْعُ لَهَا حُرْمَةً فَلِذَلِكَ وَجَبَ
احْتِرَامُ الْمُصْحَفِ لِأَنَّ فِيْهِ دَلاَلَةً عَلىَ صِفَةِ اللهِ تَعَالَى.
Al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali (w. 505 H) berkata dalam al-Iqtishad
fi al-I’tiqad hal. 190: Firman Allah itu ditulis di dalam mushhaf, dihafal
dalam hati dan dibaca dengan lisan. Adapun kertas, tinta, tulisan, huruf dan
suara, semuanya adalah baru, karena merupakan benda dan sifat benda. Jadi
semuanya baru. Firman Allah yang qadim (tidak berpermulaan) yang menetap pada
Dzat Allah, adalah yang ditunjukkan oleh firman itu, bukan petunjuk itu
sendiri. Sedangkan huruf-huruf itu merupakan simbol/rambu-rambu/petunjuk.
Simbol itu memiliki kemuliaan karena agama memuliakannya, oleh karena itu
memuliakan mushhaf hukumnya wajib, karena di dalamnya ada petunjuk atas sifat
Allah.
Pertanyaan (4):
Adakah dalil yang menyatakan bahwa meremehkan dan
menghina mushhaf al-Qur’an itu murtad?
Jawaban:
Dalil yang menyatakan bahwa meremehkan dan menghina
mushhaf al-Qur’an itu murtad terdapat di dalam al-Qur’an.
Dasar Pengambilan:
قَال تَعَالَى : { وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ
لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُل أَبِاللهِ وَآيَاتِهِ
وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ
إِيمَانِكُمْ (التوبة : ٦٥-٦٦)} .
Allah
I
berfirman: “Dan bila engkau
(Wahai Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka
mereka sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya
bermain-main (bercanda)”, katakan (wahai Muhammad); “Adakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari
alasan, sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS.
At-Taubah; 65-66).
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Fakhruddin
ar-Razi berkata:
قَالَ اْلإِمَامُ
فَخْرُ الدِّيْنِ الرَّازِيُّ (ت ٦٠٤ ه) فِيْ تَفْسِيْرِهِ ١٦/١٢٦: اَلْمَسْأَلَةُ
الثَّانِيَةُ : أَنَّهُ تَعَالَى حَكَى عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يَسْتَهْزِئُوْنَ بِاللهِ
وَآَيَاتِهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ اْلاِسْتِهْزَاءَ بِاللهِ مُحَالٌ.
فَلاَ بُدَّ لَهُ مِنْ تَأْوِيْلٍ وَفِيْهِ وُجُوْهٌ : اَلْأَوَّلُ : اَلْمُرَادُ
بِالْاِسْتِهْزَاءِ بِاللهِ هُوَ اْلاِسْتِهْزَاءُ بِتَكَالِيْفِ اللهِ تَعَالَى.
الثَّانِيْ : يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ الْمُرَادُ الْاِسْتِهْزَاءَ بَذِكْرِ اللهِ
، فَإِنَّ أَسْمَاءَ اللهِ قَدْ يَسْتَهْزِئُ الْكَافِرُ بِهَا كَمَا أَنَّ الْمُؤْمِنَ
يُعَظِّمُهَا وَيُمَجِّدُهَا. قَالَ تَعَالَى : {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الاعْلَى}
(الأعلى : 1) فَأَمَرَ الْمُؤْمِنَ بِتَعْظِيْمِ اسْمِ اللهِ. ... وَأَمَّا قَوْلُهُ
: {وَءَايَـاتِه } فَالْمُرَادُ بِهَا الْقُرْآَنُ ، وَسَائِرُ مَا يَدُلُّ عَلَى
الدِّيْنِ. ... قَوْلُهُ : {قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَـانِكُمْ } يَدُلُّ عَلَى
أَحْكَامٍ. الْحُكْمُ الْأَوَّلُ أَنَّ اْلاِسْتِهْزَاءَ بِالدِّيْنِ كَيْفَ كَانَ
كُفْرٌ بْاللهِ. وَذَلِكَ لِأَنَّ الْاِسْتِهْزَاءَ يَدُلُّ عَلَى الْاِسْتِخْفَافِ
وَالْعُمْدَةُ الْكُبْرَى فِي الْإِيْمَانِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى بِأَقْصَى اْلإِمْكَانِ
وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا مُحَالٌ.
Al-Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 604 H) berkata dalam tafsirnya juz 16 hal.
126: Masalah kedua. Allah I menceritakan bahwa kaum munafiq
itu mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya. Telah dimaklumi bahwa
mengolok-olok Allah itu mustahil. Maka hal ini harus dilakukan ta’wil. Dalam
hal ini ada beberapa jalan. Pertama, yang dimaksud mengolok-olok Allah adalah
aturan-aturan Allah I. Kedua, boleh jadi maksudnya mengolok-olok dzikir
kepada Allah. Terkadang nama-nama Allah itu diolok-olok oleh orang kafir.
Sebagaimana seorang mukmin mengagungkan dan memuliakannya. Allah I berfirman: “Sucikanlah
nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. (QS. al-A’la : 1). Allah I memerintah-kan mukmin mengagungkan nama Allah I ... Sedangkan
firman Allah “dan ayat-ayat-Nya”, maksudnya adalah al-Qur’an dan semua
hal yang menunjukkan pada agama... Firman Allah “sungguh kalian
telah menjadi kafir setelah kalian beriman”, menunjukkan kepada beberapa
hukum. Hukum pertama, bahwa mengolok-olok agama dengan cara bagaimanapun adalah
kekafiran kepada Allah. Demikian ini, karena mengolok-olok itu menunjukkan pada
sikap meremehkan. Sedangkan sandaran terbesar dalam keimanan adalah mengagungkan Allah dengan kemampuan terbesar. Menggabungkan antara keduanya
jelas mustahil.
Pertanyaan (5):
Apabila orang yang menghina agama atau
simbol-simbol agama tidak bermaksud keluar dari Islam, apakah tetap dihukumi
murtad dan keluar dari Islam?
Jawaban:
Orang yang menghina agama atau simbol-simbol agama,
dihukumi keluar dari Islam dan murtad, meskipun tidak bermaksud keluar dari
Islam.
Dasar Pengambilan
اَلرِّدَّةُ وَهِيَ قَطْعُ الْإِسْلاَم،ِ
وَتَنْقَسِمُ إِلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: أَفْعَالٌ وَأَقْوَالٌ وَاعْتِقَادَاتٌ كَمَا
اتَّفقَ عَلَى ذَلِكَ أَهْلُ الْمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَغَيْرُهُمْ، كَالنَّوَوِيِّ
(ت ٦٧٦ هـ) وَغَيْرِهِ مِنَ
الشَّافِعِيَّةِ، وَابْنِ عَابِدِيْنَ ( ت ١۲٥۲ هـ ) وَغَيْرِهِ مِنَ
الْحَنَفِيَّةِ، وَمُحَمَّدٍ عِلَّيْشٍ ( ت
١۲٩٩ هـ ) وَغَيْرِهِ مِنَ
الْمَالِكِيَّةِ، وَالْبُهُوْتِيِّ ( ت ١٠٥١ هـ) وَغَيْرِهِ مِنَ
الْحَنَابِلَةِ.
Riddah adalah
memutuskan Islam. Riddah terbagi kepada tiga macam; riddah (keluar dari Islam)
karena perbuatan, karena perkataan dan karena keyakinan. Pembagian ini telah
disepakati oleh para ulama dari empat madzhab dan lainnya; seperti, al-Imam
an-Nawawi (w 676 H) dan lainnya dari ulama madzhab Syafi’i, al-Imam Ibn Abidin
(w 1252 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanafi, Syekh Muhammad Illaisy (w
1299 H) dan lainnya dari ulama madzhab Maliki, dan al-Imam al-Buhuti (w 1051 H)
dan lainnya dari ulama madzhab Hanbali.
وَكُلٌّ مِنَ الثَّلاَثَةِ كُفْرٌ بِمُفْرَدِهِ
فَالْكُفْرُ الْقَوْلِيُّ كُفْرٌ وَلَوْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ اعْتِقَادٌ أَوْ فِعْلٌ،
وَالْكُفْرُ الفِعْلِيُّ كُفْرٌ وَلَوْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ قَوْلٌ أَوِ اعْتِقَادٌ
أَوِ انْشِرَاحُ الصَّدْرِ بِهِ، وَالْكُفْرُ الْاِعْتِقَادِيُّ كُفْرٌ وَلَوْ لَمْ
يَقْتَرِنْ بِهِ قَوْلٌ أَوْ فِعْلٌ، وَسَوَاءٌ حُصُوْلُ هَذَا مِنْ جَاهِلٍ بِالْحُكْمِ
أَوْ هَازِلٍ أَوْ غَضْبَان.
Setiap satu dari tiga macam kufur
di atas dengan sendirinya merupakan kekufuran (keluar dari Islam). Kufur Qawli
misalkan, (kufur karena ucapan) dengan sendirinya bila terjadi dapat
mengeluarkan seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur
I’tiqadi dan atau kufur Fi’li. Demikian pula kufur Fi’li (kufur karena
perbuatan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkna seseorang dari
Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur Qawli, atau kufur I’tiqadi, dan
juga walaupun tidak dibarengi dengan tujuan dalam hati untuk keluar dari Islam
itu sendiri. Dan demikian pula dengan kufur I’tiqadi dengan sendirinya ia
merupakan kekufuran walaupun tidak dibarengi dengan kufur Qawli dan atau kufur
Fi’li. Dengan demikian setiap satu dari tiga macam kufur ini bila terjadi
masing-masing maka dengan sendirinya mengeluarkan seseorang dari Islam, sama
halnya bila itu terjadi dari seorang yang tidak mengetahui hukumnya, atau orang
yang dalam keadaan bercanda, dan atau orang yang dalam keadaan marah.
وقَالَ رَسُوْلُ اللهِ r:”
إنَّ الرَّجلَ لَيَتَكلَّمُ بالكلمةِ لا يَرى بها بأسًا يهوِي بِها سبعينَ
خَرِيْفًا في النَّارِ ” رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَفِيْ مَعْنَاهُ حَدِيْثٌ
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia
tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia
akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya –yang jarak permukaan dengan
dasarnya- adalah selama 70 tahun”. (HR. at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini
hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih masing-masing).
وَقَالَ اْلإِمَامُ الْمُجْتَهِدُ
مُحَمَّدُ بْنِ جَرِيْرٍ الطَّبَرِيُّ ( ت ٣١٠ هـ ) فِيْ كِتَابِهِ "
تَهْذِيْبُ الْآَثاَرِ": إِنَّ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مَنْ يَخْرُجُ مِنَ اْلإِسْلَامِ
مِنْ غَيْر أَنْ يَقْصدَ الْخُرُوْجَ مِنْهُ اهـ.
Salah seorang Imam Mujtahid
terkemuka; yaitu Imam Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) dalam kitab
karyanya berjudul Tahdzib al-Atsar, berkata: “Sesungguhnya ada di antara
orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) walaupun ia tidak
bermaksud untuk keluar darinya”.
وَقَالَ الْحَافِظُ الْكَبِيْرُ
أَبُوْ عوَانَةَ (ت ٣١٦ هـ) الَّذِيْ عَمِلَ
مُسْتَخْرَجًا عَلىَ مُسْلِمٍ، فِيْمَا نَقَلَهُ عَنْهُ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ
فَتْحِ الْبَارِيْ ج١۲/٣٠١-٣٠۲:” وَفِيْهِ أَنَّ مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ مَنْ يَخْرُجُ مِنَ الدِّيْنِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقْصِدَ الْخُرُوْجَ
مِنْهُ وَمِنْ غَيْرِ أَنْ يَخْتَارَ دِيْنًا عَلىَ دِيْنِ اْلإِسْلاَمِ” اهـ.
Ahli hadits terkemuka yang telah
membuat kitab al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim, yaitu al-Hafizh Abu
Uwanah (w 316 H), berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang
keluar dari Islamnya walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya, dan atau
walaupun ia tidak bertujuan memiliki agama lain selain agama Islam”. (Dikutip
oleh al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari, j. 12,
h. 301-302).
Kewajiban
Setiap Muslim
وَقَالَ الشَّيْخُ عَبْدُ اللهِ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ طَاهِرٍ
الْحَضْرَمِيُّ (ت ١۲٧۲ هـ) فِيْ كِتَابِهِ سُلَّمُ
التَّوْفِيْقِ إِلَى مَحَبَّةِ اللهِ عَلىَ التَّحْقِيْقِ:” يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
حِفْظُ إِسْلاَمِهِ وَصَوْنُهُ عَمَّا يُفْسِدُهُ وَيُبْطِلُهُ وَيَقْطَعُهُ وَهُوَ
الرِّدَّةُ وَالْعِيَاذُ بِاللهِ تَعَالَى وَقَدْ كَثُرَ فِي هَذَا الزَّمَانِ التَّسَاهُلُ
فِي الْكَلاَمِ حَتَّى إِنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ بَعْضِهِمْ أَلْفَاظٌ تُخْرِجُهُمْ عَنِ
اْلإِسْلاَمِ وَلاَ يَرَوْنَ ذَلِكَ ذَنْبًا فَضْلاً عَنْ كَوْنِهِ كُفْرًا”اهـ
Syekh Abdullah ibn
al-Husain ibn Thahir al-Hadlrami (w 1272 H) dalam kitab Sullam at-Taufiq Ila
Mahabbah Allah ‘Ala at-Tahqiq, berkata: “Wajib atas setiap orang muslim
menjaga Islamnya, dan memeliharanya dari segala perkara yang dapat merusaknya,
membatalkannya, dan memutuskannya; yaitu riddah –semoga kita dilindungi oleh
Allah darinya–. Dan sungguh di zaman sekarang ini telah banyak orang yang
menganggap remeh dalam berkata-kata hingga telah keluar dari sebagian mereka
kata-kata yang telah mengeluarkan mereka dari Islam. Ironisnya, mereka tidak
menganggap hal itu sebagai dosa, terlebih menganggapnya sebagai kekufuran”.
قَالَ الشَّيْخُ عَبْدُ اللهِ الْهَرَرِيُّ (ت ١٤۲٩ هـ) ص/١٤: ” وَذَلِكَ مِصْدَاقُ
قَوْلِهِ r :” إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِيْ بِهَا فِي النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا”
أَيْ مَسَافَةَ سَبْعِيْنَ عَامًّا فِي النُّـزُوْلِ وَذَلِكَ مُنْتَهَى جَهَنَّمَ
وَهُوَ خَاصٌّ بِالْكُفَّارِ. وَالْحَدِيْثُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَه. وَفِيْ
مَعْنَاهُ حَدِيْثٌ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ، وَهَذَا الْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ
عَلىَ أَنَّهُ لاَ يُشْتَرَطُ فِي الْوُقُوْعِ فِي الْكُفْرِ مَعْرِفَةُ الْحُكْمِ
وَلاَ انْشِرَاحُ الصَّدْرِ وَلاَ اعْتِقَادُ مَعْنَى اللَّفْظِ.”اهـ
Syaikh Abdullah ibn Muhammad al-Harari
(w 1429 H), dalam kitab Mukhtashar Sullam at-Taufiq, h. 14, berkata:
“–bahwa menganggap remeh kata-kata kufur dapat mengeluarkan seseorang dari
Islamnya– hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah: “Sesungguhnya bila seseorang
berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu
sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka
hingga dasarnya –yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”.
Artinya, ia akan masuk ke dalam neraka hingga ke dasarnya yang jarak hingga
dasarnya tersebut adalah 70 tahun, dan dasar neraka adalah khusus sebagai
tempat bagi orang-orang kafir. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia
mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadits ini merupakan dalil bahwa terjatuh
dalam kufur tidak disyaratkan harus mengetahui hukumnya, juga tidak disyaratkan
bahwa hatinya benar-benar bertujuan keluar dari Islam, serta juga tidak
disyaratkan bahwa ia harus meyakini bahwa kata-kata tersebut dapat mengeluarkan
dirinya dari Islam”. (Artinya, secara mutlak dengan hanya berkata-kata kufur;
seseorang menjadi kafir/keluar dari Islam).
وَقَالَ السَّيِّدُ الْبَكْرِيُّ
الدِّمْيَاطِيُّ (ت ١٣١٠هـ) فِيْ إِعَانَةِ
الطَّالِبِيْنَ عَلَى حَلِّ أَلْفَاظِ فَتْحِ الْمُعِيْنِ ( م٢/ج٤/١٣٣): “وَاعْلَمْ أَنَّهُ
يَجْرِيْ عَلَى أَلْسِنَةِ الْعَامَّةِ جُمْلَةٌ مِنْ أَنْوَاعِ الْكُفْرِ مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَعْلَمُوْا أَنَّهَا كَذَلِكَ فَيَجِبُ عَلَى أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يُبَيِّنُوْا
لَهُمْ ذَلِكَ لَعَلَّهُمْ يَجْتَنِبُوْنَهُ إِذَا عَلِمُوْهُ لِئَلاَّ تُحْبَطَ أَعْمَالُهُمْ
وَيُخَلَّدُوْنَ فِيْ أَعْظَمِ الْعَذَابِ، وَأَشَدِّ الْعِقَابِ، وَمَعْرِفَةُ ذَلِكَ
أَمْرٌ مُهِمٌّ جِدًّا، وَذَلِكَ لِأَنَّ مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الشَّرَّ يَقَعُ فِيْهِ
وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ، وَكُلُّ شَرٍّ سَبَبُهُ الْجَهْلُ، وَكُلُّ خَيْرٍ سَبَبُهُ
الْعِلْمُ، فَهُوَ النُّوْرُ الْمُبِيْنُ، وَالْجَهْلُ بِئْسَ الْقَرِيْنُ”اهـ
As-Sayyid al-Bakri ad-Dimyathi (w 1310 H) dalam kitab I’anah
al-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in, vol. 2, j. 4, h. 133, berkata:
“Ketahuilah bahwa banyak orang-orang awam yang dengan lidahnya telah
berkata-kata kufur tanpa mereka ketahui bahwa sebenarnya hal itu merupakan
kekufuran (dan menjatuhkan mereka di dalamnya). Maka wajib atas seorang yang
memiliki ilmu untuk menjelaskan bagi mereka perkara-perkara kufur tersebut
supaya bila mereka mengetahinya maka mereka akan menghindarinya, dan dengan
demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia, serta mereka tidak
dikekalkan di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam siksaan besar dan
adzab yang sangat pedih. Sesungguhnya mengenal masalah-masalah kufur itu adalah
perkara yang sangat penting, karena seorang yang tidak mengetahui keburukan
maka sadar atau tidak ia pasti akan terjatuh di dalamnya. Dan sungguh setiap
keburukan itu pangkalnya (sebab utamnya) adalah kebodohan (tidak memiliki
ilmu), dan setiap kebaikan itu pangkalnya adalah ilmu, maka ilmu adalah
petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan adalah
seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”.
Kewajiban Orang Yang Murtad
قَالَ الْحَبِيْبُ عَبْدُ
اللهِ بْنُ حُسَيْنٍ بن ِطْاَهِرٍ بَاعَلْوِي الْحَضْرَمِيُّ (ت ١۲٧۲ هـ) فِيْ كِتَابِهِ سُلَّمِ
التَّوْفِيْقِ: فَصْلٌ يَجِبُ عَلَى مَنْ وَقَعَتْ مِنْهُ رِدَّةٌ الْعَوْدُ فَوْرًا
إِلَى اْلإِسْلاَمِ بِالنُّطْقِ بِالشَّهَادَتَيْنِ وَاْلإِقْلَاعُ عَمَّا وَقَعَتْ
بِهِ الرِّدَّةُ، وَيَجِبُ عَلَيْهِ النَّدَمُ عَلىَ مَا صَدَرَ مِنْهُ وَالْعَزْمُ
عَلىَ أَنْ لاَ يَعُوْدَ لِمِثْلِهِ وَقَضَاءُ مَا فَاتَهُ مِنْ وَاجِبَاتِ الشَّرْعِ
فِيْ تِلْكَ الْمُدَّةِ فَإِنْ لَمْ يَتُبْ وَجَبَتْ اِسْتِتَابَتُهُ وَلاَ يُقْبَلُ
مِنْهُ إِلاَّ اْلإِسْلَامُ أَوِ الْقَتْلُ، وَبَطَلَ بِهَا نِكَاحُهُ قَبْلَ الدُّخُوْلِ
وَكَذَا بَعْدَهُ إِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فِي الْعِدَّةِ، وَلَا يَصِحُّ
عَقْدُ نِكَاحِهِ وَتَحْرُمُ ذَبِيْحَتُهُ وَلَا يَرِثُ وَلَا يُوْرَثُ وَلَا يُصَلىَّ
عَلَيْهِ وَلَا يُغْسَلُ وَلَا يُكْفَنُ وَمَالُه فَيْءٌ اهـ
Al-Habib Abdullah bin Husan bin Thahir ba-Alwi
al-Hadhrami berkata dalam kitabnya Sullam al-Taufiq: “Pasal. Wajib bagi
orang yang terjerumus dalam kemurtadan, segera kembali kepada Islam dengan
mengucapkan dua kalimat syahadat, dan mencabut perbuatan yang menyebabkan
kemurtadannya. Ia juga wajib menyesali apa yang telah diperbuatnya dan
bermaksud tidak akan mengulanginya lagi, dan mengganti kewajiban-kewajiban
syara’ yang ditinggalkannya pada masa murtad tersebut. Apabila ia tidak
bertaubat, maka wajib diperintahkan bertaubat. Tidak diterima darinya kecuali
Islam atau dibunuh. Kemurtadan juga membatalkan nikahnya sebelum berhubungan
suami isteri, demikian pula sesudahnya, apabila ia tidak kembali kepada Islam dalam
masa iddah. Tidak sah pula akad nikahnya. Haram pula hewan yang disembelihnya.
Ia tidak berhak menerima warisan, dan hartanya tidak dapat diwariskan. Ia tidak
boleh dishalati, dimandikan dan dikafani. Hartanya menjadi harta fay’
(milik umat Islam).”
والحمد لله رب
العالمين، وصلى الله على سيدنا محمد النبي الأمي وعلى آله وصحبه وبارك وسلم تسليما
كثيرا.